Selasa 18 Jun 2019 02:29 WIB

Bekerja di Australia: Dilecehkan Hingga Dieksploitasi

Kebijakan bekerja sambil liburan meningkatkan pelecehan terhadap pencari kerja.

Red:
abc news
abc news

Mulai bulan Juli 2019, Australia akan memperpanjang durasi working holiday visa (WHV) atau visa liburan kerja menjadi tiga tahun. Namun sejumlah kalangan memperingatkan hal itu justru bisa meningkatkan eksploitasi dan pelecehan terhadap anak-anak muda pencari kerja.

Seorang backpacker Inggris, Frances Fairs, mengungkapkan bagaimana dia harus tinggal di tempat lembab dan kusam selama menjalani program WHV. Kamarnya, katanya, tidak bisa dikunci, dindingnya berlubang, dengan alarm kebakaran yang rusak.

Menurut Frances, semua itu bertolak belakang dengan apa yang dilihatnya di iklan-iklan online mengenai program WHV.

Dia mengaku terus dihantui oleh pengalaman buruknya itu.

"Saya diantar ke kamar, tempat tidurnya kosong, tapi saya melihat ada serangga di tempat tidur," ujar kepada ABC.

Kamar untuknya di asrama tersebut, katanya, hanya dilengkapi dengan kasur kotor yang tergeletak di lantai, kamar mandi yang tak berfungsi serta dapur tanpa air ledeng.

Frances justru mendapat tugas untuk membersihkan asrama, mencuci seprai dan menerima para pekerja WHV ke kota pedalaman Victoria tersebut.

Para backpacker yang menginap di asrama, termasuk Frances, datang untuk bekerja di sektor pertanian sebagai syarat Visa WHV atau dikenal juga dengan Visa 417.

Berselang beberapa minggu setelah Frances tiba, perilaku seksual pemilik hostel semakin menjadi-jadi.

Frances yang belum menerima gajinya, langsung merasa terjebak.

"Sehari sebelum Natal dia menyentuhku. Saya peringatkan dengan tegas untuk melepaskan saya, tapi dia terus memaksa," tuturnya.

Frances Fairs stands posing in front of the Sydney Opera House Photo: Frances menikmati kunjungannya ke Australia sehingga ingin memperpanjang masa tinggalnya setahun lagi. (Supplied)

 

Khawatir dengan keselamatannya, Frances pun berniat meninggalkan tempat itu. Tapi selama liburan Natal, sama sekali tak ada layanan bus ke Melbourne.

"Dia memanggilku ke kantornya. Dan bilang, 'begini saja, kamu tidur dengan saya, jadi pacar ku, atau saya perkosa. Pilih yang mana'," ujarnya.

"Dia bilang 'saya akan menjemputmu besok, suka atau tidak. Kamu tak akan bisa menolak'. Saya lalu menendangnya, menjauh darinya," tambah Frances.

Dia langsung mengemasi kopernya, memanggil taksi dan melarikan diri dari sana.

Namun sesampai di stasiun kereta, dia baru sadar tidak punya uang cukup untuk membeli tiket bus ke Melbourne.

Setengah putus asa, Frances pun menjelaskan apa yang terjadi pada seorang supir bus.

Sang supir yang baik hati pun membiarkannya naik dengan gratis dan hanya perlu memberitahu operator di kantor stasiun kereta.

"Sepertinya supir ini sudah pernah melihat kejadian serupa sebelumnya," katanya.

Pengalaman Frances ini bukan satu-satunya.

Ada juga korban lainnya yang pernah bekerja backpacker ke Australia, menceritakan kisah buruknya ke ABC, menjelang berlakunya perpanjangan durasi masa tinggal Visa 417.

Menurut aturan baru ini, mereka bisa tetap tinggal di Australia sampai tahun ketiga jika melakukan pekerjaan tertentu di wilayah regional selama enam bulan saat menjalani tahun kedua visa mereka.

Disekap di kandang babi

Kasus-kasus serangan seksual terhadap backpacker wanita sudah banyak diberitakan di media.

Misalnya pada tahun 2017, seorang backpacker Eropa dikurung di kandang babi dan mengalami pelecehan seksual selama dua hari oleh petani Gene Charles Bristow di Australia Selatan.

 

"Saya berada di kandang itu, saya merasa diri seperti binatang atau budak," ujar korban dalam persidangan, setelah Bristow jadi terdakwa pemerkosaan, penculikan dan penyerangan tidak senonoh.

Setahun sebelumnya, dua turis wanita dilaporkan berhasil selamat dari serangan di Salt Creek, Australia Selatan, setelah menumpang sebuah kendaraan dari Adelaide ke Victoria.

Pelakunya, Roman Heinze, kini harus menjalani minimal 17 tahun penjara dari vonis 22 tahun empat bulan.

 

Pengalaman buruk lainnya dialami Chelsey - yang minta nama lengkapnya dirahasiakan. Dia mengaku diserang oleh seorang petani saat mereka semobil pulang kerja.

Backpacker Inggris yang kini berusia 32 tahun ini mengaku curiga saat itu ketika tahu petani itu mengambil rute berbeda.

"Tak berselang lama, kami pun sendirian di jalan gelap. Saat itulah mulai menggerayangi saya," kata Chelsey.

"Saya berhasil keluar dari mobil dan jatuh ke sisi jalan. Dia datang dan menindih say, membuka celananya dengan satu tangan dan memegangiku dengan tangan yang lain," paparnya.

Chelsey, katanya, meronta, menendang, dan menjerit sampai akhirnya berhasil menghentikan upaya pemerkosaan itu.

Dia mengaku bergitu kerasnya menyilangkan kedua kakinya sampai muncul memar keesokan harinya.

Dari pengalaman ini, Chelsey menyarankan para backpacker lebih baik ke Selandia Baru daripada menghabiskan tahun kedua di Australia.

Dia merasa bersyukur karena bisa melawan perbuatan petani tempatnya bekerja tersebut.

Mencari istri kedua

Kisah serupa lainnya terjadi pada tahun 2012. Saat itu backpacker Eleanor Juby, juga dari Inggris, mendapatkan pekerjaan di pertanian yang terletak empat jam dari Brisbane.

Dia mengaku begitu tiba, langsung menyadari bahwa keluarga tempatnya bekerja ini sedang mencari istri kedua.

 

"Sang istri banyak menghabiskan waktunya di website poligami. Si suami sering hanya memakai celana kolor dan mengatakan saat musim panas, mereka biasanya telanjang," kata Juby.

"Dia akan menggamit saya ke pangkuannya bila kebetulan berjalan melewatinya," kata Eleanor.

Dia mengaku hanya bertahan selama sembilan hari di sana. Namun pekerjaan berikutnya bukannya berjalan mulus.

"Kami merasa dibuat seperti warga kelas dua, tinggal di gudang, dengan gadis-gadis lainnya yang membesarkan hati," kata Eleanor.

"Istri petani itu berhenti memberi kami makan di rumahnya karena tidak ingin kami ada di sana," ujarnya.

Dia berhasil melewati tiga bulan bekerja di pedalaman demi bisa tinggal untuk tahun kedua visa 417-nya. Namun Eleanor mengaku kondisi fisik yang harus dialaminya cukup mengerikan.

Misalnya dia harus tidur dan mandi bersama binatang, dengan toilet yang juga dijadikan kandang ayam.

Seorang backpacker lainnya, Emily, mendukung perlunya perubahan sistem visa liburan kerja ini.

Dia menjalani program ini di Queensland utara, tinggal di rumah milik petani berusia 40 tahun bersama enam backpacker wanita muda lainnya.

Setelah beberapa minggu si petani mulai ruang gerak mereka, kata Emily.

"Dia mulai sangat mengendalikan. Sampai memasang kamera di rumah. Mengunci gerbang sehingga kami tak bisa keluar," katanya.

Menurut dia, sistem visa 417 ini memungkinkan petani seperti ini melakukan hal-hal seperti itu. Sebab, "Semua orang menginginkan jenis pekerjaan ini," kata Emily.

Ibu yang anaknya terbunuh

Sejak putrinya Mia terbunuh di asrama backpacker di Queensland tahun 2016, Rosie Ayliffe telah mengabdikan hidupnya menjaga keselamatan para backpacker muda lainnya.

 

Mia sebenarnya baru beberapa hari menjalani penempatan tiga bulan di pedalaman ketika ditikam sampai mati bersama sesama backpacker Tom Jackson, yang bermaksud menolongnya.

Tahun lalu, pengadilan memutuskan terdakwa Smail Ayad sebagai "tidak waras" saat terjadinya serangan itu. Pria ini telah dimasukkan ke rumahsakit jiwa.

Rosie Ayliffe melalui akun medsosnya sangat aktif memberikan saran dan dukungan bagi ribuan orang yang ingin bekerja di pedalaman Australia.

Dia mengatakan kisah eksploitasi dan serangan seksual sudah terlalu jamak. "Dulu selalu membuatku menangis," katanya.

"Setiap kali mendengar cerita seperti itu, rasanya seperti mengalami kematian Mia kembali," tambahnya.

Menurut Rosie, perpanjangan durasi Visa 417 akan meningkatkan jumlah backpacker yang terpapar pada situasi mengerikan.

"Sistem visa ini sebenarnya memerlukan regulasi. Tapi bukannya regulasi, mereka malah memperpanjangnya," katanya.

Dia menuding Pemerintah Australia bertanggungjawab karena melaksanakan program ini.

"Mereka harus memastikan bahwa setiap asrama dan tempat kerja yang didatangi anak-anak muda kita itu bisa diakses, mematuhi aturan, dan aman," tambahnya.

 

Seorang agen migrasi Mark Glazbrook sependapat dengan Rosie Ayliffe. Dia menyebut eksploitasi yang dilaporkan ke polisi hanyalah puncak gunung es.

"Kami melihat sejumlah besar kasus eksploitasi dalam program visa liburan kerja saat ini terjadi di bawah permukaan," kata Glazbrook.

"Begitu programnya diperpanjang, maka hal itu akan meningkatkan kesempatan bagi pengusaha mengeksploitasi lebih banyak orang," tambahnya.

Badan pengawas hubungan industrial Australia, Fair Work Ombudsman, tahun lalu menyelesaikan 719 kasus yang melibatkan pemegang visa 417.

Pihak Departemen Dalam Negeri yang dihubungi ABC menjelaskan pihaknya telah menerapkan sejumlah perubahan aturan untuk mengatasi eksploitasi dari pengusaha tidak bermoral.

Termasuk pembentukan Satgas Buruh Migran dan tambahan anggaran untuk Ombudsman.

"Pekerja WHV yang bekerja di mana saja di Australia berhak atas hak dan perlindungan dasar yang sama dengan warga negara dan penduduk tetap Australia," kata juru bicara Depdagri.

"Tuduhan atau informasi yang diterima sehubungan dengan eksploitasi kerja atau seksual serta pelecehan pemegang visa, termasuk menahan paspor mereka, telah dirujuk ke pihak berwenang untuk ditindaki," katanya.

Depdagri menyatakan komitmennya untuk memastikan para pekerja pendatang itu dilindungi dari eksploitasi atau pelecehan, terlepas dari kewarganegaraan mereka.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC News di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement