REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina meminta Amerika Serikat (AS) berhenti menggunakan tekanan ekstrem dalam menyelesaikan persoalan dengan Iran. Beijing menilai hubungan kedua negara saat ini cukup rawan konflik.
"Secara khusus pihak AS harus mengubah metode tekanan ekstremnya. Setiap perilaku sepihak tidak memiliki dasar dalam hukum internasional," kata Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi pada Selasa (18/6).
Wang menilai, satu-satunya jalan untuk menangani perselisihan antara Washington dan Teheran perihal program nuklir adalah melalui kesepakatan yang disetujui pada 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). AS diketahui telah hengkang dari kesepakatan tersebut pada Mei 2018.
Iran pun mulai menangguhkan beberapa komitmennya dalam JCPOA. Wang meminta Teheran berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait kesepakatan nuklir. "Kami berharap Iran berhati-hati dengan pengambilan keputusannya dan tidak mengabaikan perjanjian ini," kata Wang.
Dia menyerukan kedua belah pihak menghindari provokasi yang dapat memantik ketegangan di kawasan. "Kami menyerukan semua pihak untuk tetap rasional dan menahan diri serta tidak mengambil tindakan eskalasi yang mengganggu ketegangan regional dan tidak membuka kota pandora," ujarnya.
Ketegangan antara AS dan Iran dipicu oleh kesepakatan nuklir. AS menghendaki agar JCPOA dinegosiasikan kembali. Sebab, dalam perjanjian itu belum diatur tentang pengembangan rudal balistik Teheran.
Namun, Iran menolak. Ia enggan berunding di bawah tekanan AS. Iran diketahui telah dijatuhi sanksi ekonomi berlapis oleh AS.
Situasi di kawasan Teluk pun semakin memanas menyusul adanya serangan terhadap beberapa kapal tanker dalam sebulan terakhir. AS, termasuk Arab Saudi, menuduh Iran mendalangi serangan tersebut. Teheran telah membantah tegas tudingan itu.