Selasa 18 Jun 2019 17:44 WIB

Pemimpin Hong Kong Kembali Minta Maaf

Pemimpin Hong Kong meminta maaf setelah RUU ekstradisi memicu demonstrasi.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, 10 Juni 2019.
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, 10 Juni 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam kembali meminta maaf atas Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi yang telah memicu aksi protes selama beberapa hari belakangan. Para pengunjuk rasa menyerukan agar RUU kontrovesial itu ditarik dan Lam mengundurkan diri dari jabatannya.

"Saya pribadi harus memikul banyak tanggung jawab. Ini telah menimbulkan kontroversi, perselisihan, dan kecemasan dalam masyarakat. Untuk itu, saya memohon permintaan maaf yang paling tulus kepada semua warga Hong Kong," ujar Lam, dilansir BBC, Selasa (18/6). 

Baca Juga

Sebelumnya, Lam telah menangguhkan pembahasan RUU ekstradisi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Lam yang mendapatkan dukungan Beijing menegaskan, pembahasan RUU ekstradisi tidak akan dilanjutkan jika pemerintah tidak dapat mengatasi kekhawatiran tentang undang-undang yang diusulkan. Lam juga sebelumnya telah meminta maaf kepada para demonstran.

"Sangat tidak mungkin pemerintah dapat mengatasi kekhawatiran sebelum tahun depan ketika masa jabatan dewan legislatif Hong Kong berakhir," kata Lam.

Sejak amandemen undang-undang ekstradisi tersebut diajukan pertama kali ke legislatif pada Februari lalu, Lam berulang kali menolak kekhawatiran yang disuarakan oleh banyak pihak, termasuk pebisnis, pengacara, hakim, dan pemerintah asing. Dalam RUU itu disebutkan bahwa pelaku tindak pidana akan dikirim ke Cina daratan untuk diadili. Ekstradisi akan dilakukan kasus per kasus. 

Para kritikus, termasuk pengacara terkemuka dan kelompok hak asasi manusia, mencatat sistem peradilan Cina dikendalikan oleh Partai Komunis. Dengan demikian, sistem peradilan akan ditandai dengan penyiksaan dan pengakuan paksa, penahanan sewenang-wenang dan akses yang buruk ke pengacara. 

RUU ekstradisi juga dapat mengancam kedaulatan hukum Hong Kong dan reputasi internasionalnya sebagai pusat keuangan Asia. Bahkan, beberapa taipan Hong Kong mulai memindahkan kekayaan pribadinya ke luar negeri.

Lam menapaki karir sebagai pegawai negeri sipil. Dia mulai menjabat sebagai kepala eksekutif Hong Kong pada dua tahun lalu, dan berjanji akan menyatukan masyarakat yang terpecah. Lam dikenal memiliki gaya kepemimpinan yang keras dan tidak neko-neko. 

Beberapa pengamat mengatakan, Lam tidak mungkin mundur dari jabatannya. Namun, kemungkinan dia akan sulit meraih ambisi politik jangka panjangnya. 

Permintaan maaf Lam tidak mendapatkan respons yang baik dari pengunjuk rasa. Mereka mengancam akan tetap melakukan aksi protes hingga RUU esktradisi dibatalkan. Mereka khawatir pihak berwenang akan berusaha untuk menghidupkan kembali undang-undang tersebut di masa depan, ketika suasana masyarakat sudah lebih tenang. 

"Kami tidak dapat menerima permintaan maaf (Lam). Itu tidak akan menghilangkan semua ancaman kami," ujar seroang pekerja sosial, Brian Chau yang menjadi bagian dari para pengunjuk rasa yang menginap di distrik Admiralty, dekat dengan kantor pusat dan legislatif.

Aksi protes yang terjadi beberapa hari lalu merupakan yang terbesar di Hong Kong, sejak peristiwa demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen, Beijing pada 4 Juni 1989. Pejabat Hong Kong menyatakan, 72 orang dirawat di rumah sakit akibat terluka dalam aksi protes. Sementara, media lokal melaporkan, satu orang pengunjuk rasa meninggal dunia karena terjatuh dari bangunan konstruksi ketika sedang membentangkan spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap RUU esktradisi. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement