REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Kelompok lingkungan hidup Greenpeace menyeru semua negara Asia Tenggara melarang impor sampah dari negara maju untuk membantu penanggulangan krisis polusi plastik, Selasa (18/6).
Asia Tenggara telah menyaksikan lonjakan yang mengerikan impor sampah plastik dan elektronik dari negara maju. Lonjakan terjadi setelah pendaur-ulang papan atas dunia, Cina, melarang impor sehingga jutaan ton sampah dialihkan ke negara yang kurang memiliki peraturan.
Thailand mulai Kamis (20/6) menjadi tuan rumah pertemuan empat hari para pemimpin 10 negara Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) guna membahas masalah paling mendesak di wilayah itu, termasuk sampah plastik di samudra. "Greenpeace Asia Tenggara menuntut para pemimpin ASEAN menaruh masalah ini pada agenda selama pertemuan puncak tahun ini dan mengeluarkan deklarasi bersatu guna menangani krisis sampah plastik di wilayah ini. Deklarasikan larangan segera atas semua impor sampah plastik," kata kelompok tersebut di dalam satu pernyataan.
Direktur Ecological Alert and Recovery Thailand (EARTH) Foundation Penchom Saetang mengatakan pertemuan tahun ini digelar demi kepentingan ASEAN. Tema pertemuan adalah kesinambungan.
"Menyambut sampah plastik dan elektronik dari luar negeri atas nama pembangunan harus diakhiri segera," Saetang.
Sebagian negara Asia Tenggara dalam beberapa bulan belakangan ini telah melakukan tindakan guna mencegah aliran sampah. Indonesia adalah yang paling akhir menolak impor sampah dari Kanada setelah tindakan serupa oleh Malaysia dan Filipina.
Thailand tidak melarang impor sampah plastik, tapi bertujuan mengakhirinya sampai 2020. Thailand memberlakukan sebagian larangan atas sampah elektronik.
Greenpeace juga mendesak negara ASEAN mengesahkan amandemen Konvensi Basel, yang berusia 30 tahun. Konvensi itu adalah kesepakatan PBB mengenai gerakan dan pembuangan sampah berbahaya, untuk membatasi aliran sampah plastik ke negara berkembang.