Kamis 20 Jun 2019 08:19 WIB

UNCHR: Lebih Dari 70 Juta Orang Telantar

Setengah dari pengungsi dunia adalah anak-anak dan perempuan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Pengungsi dan imigran berdatangan ke Eropa lewat laut di Pulau Lesbos, Yunani.
Foto: Reuters
Pengungsi dan imigran berdatangan ke Eropa lewat laut di Pulau Lesbos, Yunani.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Badan pengungsi PBB UNCHR merilis laporan terbaru pada Rabu (19/6) soal orang yang terlantar dari rumah mereka hingg akhir 2018. UNCHR mencatat, lebih dari 70 juta orang terpaksa mengungsi karena perang, konflik, dan penganiayaan. Angka ini menunjukkan level tertinggi yang pernah tertera dalam 70 tahun terakhir.

Menurut laporan Global Trends tahunan UNCHR, jumlah yang melebihi populasi Thailand ini telah berlipat dua selama dua dekade terakhir, yakni sebesar 70,8 juta orang terlantar. UNCHR membagi kelompok orang yang meninggalkan rumah atau telantar itu menjadi pengungsi, pencari suaka, dan pengungsi internal (IDP).

Baca Juga

Laporan tersebut mencatat, dari 2,9 juta orang, 2,3 juta diantaranya menjadi pengungsi yang sudah dipindahkan pada 2018. Mereka meninggalkan negara mereka karena konflik, perang, atau penganiayaan. Jumlah pengungsi pada 2018 di seluruh dunia mencapai 25,9 juta orang.

Pencari suaka diklasifikasikan sebagai orang di luar negara asalnya. Mereka menerima perlindungan internasional. Jumahnya pun mencapai 3,5 juta orang di seluruh dunia.

Kelompok ketiga dan terpadat, jumlah pengungsi berjumlah lebih dari separuh dari jumlah pengungsi yakni di angka 41,3 juta. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari rumah mereka ke daerah lain di negara mereka sendiri.

"Dengan setiap situasi pengungsi, di mana pun berada, betapa pun lama hal itu berlangsung, harus ada penekanan abadi pada solusi dan menghilangkan hambatan bagi orang-orang yang dapat kembali ke rumah," kata Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi seperti dilansir Anadolu Agency, Rabu (19/6).

Menurutnya, situasi ini adalah salah satu tantangan besar. Laporan juga menekankan semua negara harus bersatu untuk kebaikan bersama dalam mengatasi masalah pemindahan pengungsi.

Negara-negara berkembang menanggung bebas terbesar dari krisis pengungsi di dunia ini. Setengah dari pengungsi dunia adalah anak-anak dan perempuan.

Angka-angka catatan UNCHR pada laporan Global Trends tidak termasuk sebagian besar dari empat juta warga Venezuela yang melarikan diri ke luar negeri sejak 2015. Sebab mereka tidak memerlukan visa atau untuk mengajukan klaim suaka untuk tinggal di sebagian besar negara tetangga. Jika arus keluar terus berlanjut, total lima juta rakyat Venezuela bisa mencapainya pada akhir tahun.

photo
Warga Venezuela memasuki Kolombia dengan menyeberangi jembatan internasional Simon Bolivar dari San Antonio del Tachira, Venezuela. Rakyat Venezuela mengalami kelangkaan makanan dan obat-obatan.

"Tentu saja jika situasinya tidak diselesaikan secara politis di Venezuela, dengan kesepakatan politik, kita akan melihat kelanjutan dari eksodus ini," ujar Grandi

Rakyat Venezuela, yang tiba terutama di Kolombia, Peru, dan Ekuador, membentuk aliran terbesar kedua di luar negeri tahun lalu, setelah warga Suriah yang melarikan diri ke Turki usai perang selama delapan tahun.

Grandi mengatakan, sebagian besar pengungsi sebenarnya berada di negara sebelah tempat perang. Ia menyayangkan wilayah terbanyak pengungsi sebagian besar ada di negara-negara miskin atau di negara-negara berpenghasilan menengah.

"Di situlah krisis itu, itulah kebutuhan di mana kita perlu fokus," katanya.

Lebih dari dua pertiga pengungsi dunia berasal dari lima negara: Suriah, Afghanistan, Sudan Selatan, Myanmar dan Somalia. Grandi menekankan dengan melihat angka besar orang terlantar di seluruh dunia, ini adalah krisis solidaritas.

"Ini mengidentifikasi pengungsi dan migran dengan masalah, bukan orang yang melarikan diri dari masalah," katanya.

Di Eropa, menurutnya, masalah ini sangat dipolitisasi sehingga membuat beberapa pemerintah takut berkomitmen membawa orang yang diselamatkan di laut setelah melarikan diri dari Libya atau zona konflik lainnya. "Seruan yang saya buat ini, kini kita berada dalam situasi di mana pemilihan Eropa (Parlemen) ada di belakang kita, adalah untuk menghentikan agitasi pemilihan ini. Jumlah (pengungsi) yang tiba di Eropa terus terang harus dikelola," katanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement