REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK — Kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak para pemimpin negara-negara Asia Tenggara untuk secara serius menangani penyelesaian krisis Rohingya pada Rabu (19/6). Secara khusus hal itu dinilai perlu untuk dirundingkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang akan digelar pada akhir pekan ini di Ibu Kota Bangkok, Thailand.
Dalam laporan yang diberikan kelompok hak asasi manusia tersebut, para pemimpin ASEAN diminta melakukan langkah yang nyata mengenai upaya Pemerintah Myanmar bagi warga Rohingya yang harus melarikan diri ke Bangladesh akibat konflik di wilayah tempat tinggal mereka di Rakhine. Setidaknya 740 ribu warga Rohingya pergi meninggalkan rumah mereka akibat operasi militer yang dilakukan pada Agustus 2017.
Warga Rohingya telah mengalami kondisi tragis dengan operasi militer Burma yang brutal. Tak sedikit dari mereka yang mengalami pemerkosaan, hingga pembunuhan massal, dan desa-desa tempat tinggal etnis minoritas Myanmar tersebut dihancurkan secara besar-besaran.
Seiring desakan internasional, Pemerintah Myanmar telah diminta untuk membuat kesepakatan dengan Bangladesh guna memulangkan warga Rohingya yang telah menjadi pengungsi. Namun, kesepakatan itu terhenti karena hampir seluruh warga Rohingya yang menolak kembali ke negara asal mereka karena kekhawatiran keamanan, serta hak-hak yang tak dipenuhi seperti pemberian kewarganegaraan atau hanya mencakup hak-hak dasar kemanusiaan.
“ASEAN perlu berhenti menutup mata terhadap kekejaman Burma terhadap Rohingya,” ujar Eva Sundari, yang menjabat sebagai anggota dewan dalam parlemen ASEAN di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dari Indonesia, dilansir Asian Correspondent, Kamis (20/6).
Menurut Eva, warga Rohingya tak akan pulang, kembali ke rumah mereka di Myanmar secara sukarela hingga ada jaminan kemanan serta situasi di Rakhine berubah secara drastis. Sebelumnya, Tim Tanggap Darurat dan Penilaian ASEAN memperkirakan pemulangan warga Rohinya dapat selesai dalam waktu dua tahun.
Warga Rohingya telah menarik perhatian dunia dengan terjadinya kekerasan dan kekejaman terhadap mereka selama bertahun lamanya. Tidak terhitung berapa banyak kecaman internasional yang ditujukan terhadap Pemerintah Myanmar karena dianggap bertanggung jawab atas terjadinya hal itu.
PBB bahkan mengatakan bahwa Rohingya adalah etnis yang paling teraniaya di dunia ini. Warga Rohingya yang selama ini banyak menetap di wilayah negara bagian Rakhine di Myanmar itu telah menghadapi ketakutan dengan meningkatnya serangan dan kekerasan yang terjadi. pertama kali pada 2012.
Hingga pada Agustus 2017, hampir 750 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine akibat operasi militer yang berlangsung di sana. Mereka pergi menuju Bangladesh yang berbatasan langsung dengan wilayah utara Myanmar dan kini menetap di kamp-kamp pengungsian.
PBB dalam sebuah pernyataan juga mengatakan penyelidikan adanya tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Pemerintah Myanmar perlu dilakukan. Dalam laporan dari Ontario International Development Agency (OIDA), sebanyak 24 ribu warga Rohingya menjadi korban pembunuhan militer Myanmar.
OIDA juga memberi informasi lebih lanjut mengenai penyiksaan yang dialami oleh warga Rohingya dalam operasi militer tersebut. Lebih dari 34 ribu di antara mereka dikatakan dibakar hidup-hidup. Sementara setidaknya 114 ribu di antaranya dipukuli.
Kemudian, ada sekitar 18 ribu perempuan Rohingya yang diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Tak hanya itu, kekejaman terhadap warga etnis itu berlanjut dengan pembakaran 115 ribu rumah dan 113 ribu lainnya dirusak.
Selain itu, PBB pernah mendokumentasikan pemerkosaan massal dan pembunuhan yang terjadi terhadap warga Rohingya. Bahkan, tindakan menghilangkan nyawa dengan pemukulan brutal juga berlangsung. Mereka yang menjadi korban dilaporkan termasuk bayi dan anak-anak, mulai dari usia balita.