REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- ASEAN harus mengambil langkah-langkah yang berarti ke arah promosi dan perlindungan hak-hak komunitas Rohingya. Termasuk melalui pengakuan identitas mereka, memulihkan kewarganegaraan mereka sepenuhnya, dan menjamin partisipasi mereka dalam semua keputusan yang melibatkan mereka.
"ASEAN sejauh ini hanya tetap bungkam berhadapan dengan pelanggaran serius hak-hak asasi manusia yang terjadi di salah satu negara anggotanya," ujar Direktur Eksekutif Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA) John Samuel di Bangkok, Thailand, Kamis (20/6).
Dengan mendekatnya peringatan dua tahun "operasi pembersihan" terbaru militer Myanmar, lanjut dia, berlanjutnya ketiadaan tindakan oleh ASEAN akan mengirim sinyal berbahaya bahwa perhimpunan ini tidaklah peduli dengan penderitaan orang-orang Rohingya. Kemudian, pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM dapat terus berlanjut dengan kekebalan dari hukuman.
Pada 7 Juni 2019, sebuah salinan dari laporan ?ASEAN Preliminary Needs Assessment for Repatriation in Rakhine State? oleh Pusat Koordinasi Bantuan Kemanusiaan untuk Pengelolaan Bencana ASEAN (AHA Centre) dan Tim Penilai dan Tanggapan Darurat (ASEAN-ERAT) bocor ke media. Draf laporan itu mengabaikan akar penyebab mengapa ratusan ribu warga Rohingya terpaksa mengungsi dari kampung halaman mereka, termasuk aneka aksi kekejaman yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar dan para-militer serta diskriminasi yang terlembagakan yang diterapkan oleh otoritas Myanmar terhadap minoritas di Negara Bagian Rakhine selama puluhan tahun.
Lebih jauh, draf laporan tersebut gagal menyebut kata "Rohingya", alih-alih menyebut komunitas ini sebagai "Muslim"."Kecuali kalau diambil langkah-langkah konkrit menuju akuntabilitas internasional bagi genosida, kejahatan terhadap HAM dan kejahatan perang, impunitas yang berlangsung terus akan semakin memberanikan militer Myanmar berbuat lebih banyak kekejaman semacam itu, dan setiap pengungsi yang kembali akan rentan terhadap kekejaman yang sama yang membuat mereka dulu mengungsi; ini seperti mengirim mereka kembali ke ladang pembantaian untuk dijadikan korban-ulang," kata Ketua Dewan Penasihat Progressive Voice Khin Ohmar.
Berbagai bentrokan antara pasukan keamanan Myanmar dan organisasi bersenjata kesukuan Tentara Arakan telah membuat sedikitnya 30 ribu orang mengungsi sejak awal tahun, menekankan rawan dan rentannya situasi Negara Bagian Rakhine.
Sementara laporan ASEAN tentang proses repatriasi pengungsi diperkirakan akan resmi dirilis beberapa minggu ke depan, APHR, FORUM-ASIA dan Progressive Voice menyerukan ASEAN guna menjamin agar perhimpunan ini tidak justru terlibat dalam repatriasi paksa atau prematur para pengungsi Rohingya.
Selain itu, anggota DPR-RI dan anggota dewan APHR, Eva Sundari, mengatakan ASEAN harus berhenti menutup mata atas aksi kekerasan Myanmar terhadap orang Rohingya dan berhenti memberikan legitimasi bagi proses repatriasi."Kita semua tahu orang-orang Rohingya di Bangladesh dan negara-negara lain tidak akan kembali ke kampung halaman mereka dengan sukarela sampai situasi di Negara Bagian Rakhine sungguh-sungguh berubah," ujar dia.
Karena itu, diperlukan satu pergeseran politik yang besar agar segalanya bergerak ke arah yang benar.Tak satupun yang menjadi prasyarat bagi orang Rohingya untuk kembali, dan yang telah digaungkan oleh berbagai kelompok HAM dan para pakar, yang telah dicerna dengan serius oleh otoritas Myanmar.Lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari ke Bangladesh setelah militer Myanmar melancarkan sebuah "operasi pembersihan" pada Agustus 2017, membantai ribuan orang dan membakar desa-desa.
Sebuah misi pencari fakta di bawah mandat PBB pada September 2018 menyatakan agar pemimpin militer Myanmar diselidiki dan dituntut atas genosida, kejahatan atas HAM dan kejahatan perang.Para pemimpin Asia Tenggara menyiapkan pertemuan di Bangkok, Thailand, untuk Pertemuan Puncak ASEAN ke-34 pada 20-23 Juni 2019.