Jumat 21 Jun 2019 15:53 WIB

Raja Abdullah: Konflik Israel-Palestina Kobarkan Radikalisme

Pertikaian antara Israel dan Palestina diselesaikan melalui mekanisme atau solusi dua

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Muhammad Subarkah
Anggota Brigade Izuddin Al Qassam membagikan iftar kepada warga di Kota Gaza, Jalur Gaza Palestina, akhir pekan lalu. Pasukan ini dikenal sebagai sayap pasukan bersenjata Partai Hamas.
Foto: Mohamed Saber/EPA EFE
Anggota Brigade Izuddin Al Qassam membagikan iftar kepada warga di Kota Gaza, Jalur Gaza Palestina, akhir pekan lalu. Pasukan ini dikenal sebagai sayap pasukan bersenjata Partai Hamas.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Raja Yordania Abdullah II mengatakan konflik Israel-Palestina telah mengobarkan radikalisme dan ekstremisme di seluruh dunia. Oleh sebab itu, penyelesaian permanen terkait konflik kedua negara itu sangat dibutuhkan. 

 

"Konflik Palestina-Israel telah memicu perselisihan global dan radikalisme," ujarnya saat berpidato dalam acara the International Conference on Cohesive Societies, dikutip laman Al Arabiya pada Kamis (20/6). 

 

Dia kembali mendesak agar pertikaian antara Israel dan Palestina diselesaikan melalui mekanisme atau solusi dua negara. "Kita semua membutuhkan perdamaian permanen, memenuhi kebutuhan kedua belah pihak; negara Palestina yang berdaya, mandiri, berdaulat, di garis (perbatasan) 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, tapi hidup berdampingan dengan Israel, dalam perdamaian dan keamanan," katanya. 

 

Menurut Raja Abdullah, Yerusalem, sebagai kota suci bagi tiga agama di dunia, juga harus dilindungi. Dia, sebagai raja Yordania, terikat oleh tugas khusus untuk melindungi situs-situs suci keagamaan di sana. 

 

"Tapi bagi kita semua, Yerusalem seharusnya, dan harus menjadi, sebuah kota perdamaian yang mempersatukan," ujar Raja Abdullah. 

 

Yordania adalah satu dari dua negara anggota Liga Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Belum lama ini, negara itu dikecam karena berniat hadir dalam konferensi ekonomi bertajuk "Peace for Prosperity" di Bahrain. 

 

Konferensi tersebut digagas Amerika Serikat (AS) dengan maksud menawarkan solusi ekonomi untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Dengan demikian, aspek atau tuntutan politik yang melekat pada perselisihan kedua negara itu disisihkan. 

 

Palestina telah dengan tegas menolak solusi ekonomi. Ia hanya bersedia berdamai jika haknya membentuk negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya terpenuhi.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement