Selasa 25 Jun 2019 12:11 WIB

Myanmar Blokir Internet di Rakhine

Pemblokiran internet di Rakhine terjadi selama tiga hari.

Rep: Rizky Jaramaya/Rossi Handayani / Red: Nur Aini
Kekerasan di Myanmar terkonsentrasi di daerah Rakhine
Foto: BBC
Kekerasan di Myanmar terkonsentrasi di daerah Rakhine

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Pihak berwenang Myanmar telah memerintahkan perusahaan telekomunikasi untuk berhenti menyediakan layanan internet ke negara bagian Rakhine. Hal itu menyebabkan lebih dari satu juta orang di negara bagian tersebut tidak dapat mengakses informasi selama tiga hari.

Kelompok hak asasi manusia (HAM) mengecam tindakan tersebut karena dapat mengancam keselamatan warga sipil. Berhentinya akses internet dilakukan pada 21 Juni dan tanpa ada pengumuman terlebih dahulu. Ditutupnya akses internet dilakukan sehari setelah kementerian transportasi dan komunikasi Myanmar memerintahkan empat perusahaan untuk sementara waktu menangguhkan layanan internet seluler ke sembilan kota kecil di negara bagian Rakhine utara, dan negara bagian selatan Chin.

Baca Juga

Sekretaris Kementerian Transportasi dan Komunikasi, Soe Thein mengatakan, penutupan akses internet tersebut dilakukan karena ada situasi darurat. Militer telah bentrok sepanjang tahun di wilayah itu dengan pemberontak Arakan Army (AA), yang menginginkan otonomi politik bagi umat Buddha Rakhine. 

Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bentrokan itu telah membuat 30 ribu warga sipil meninggalkan tempat tinggal mereka dalam enam bulan terakhir. Selain itu, Muslim Rohingya yang berjumlah 730 ribu jiwa juga terusir dari wilayah tersebut mulai 2017. 

"Layanan internet akan dilanjutkan ketika perdamaian dan stabilitas dipulihkan ke wilayah tersebut," ujar Soe Thien, Selasa (25/6). 

Hanya satu dari empat operator telekomunikasi yang secara terbuka mengakui adanya penutupan jaringan internet, yakni Telenor. Dalam sebuah pernyataan, Telenor mengatakan, pihaknya telah meminta kepada kementerian terkait untuk klarifikasi lebih lanjut tentang alasan penutupan jaringan internet tersebut. 

Telenor menekankan bahwa kebebasan berekspresi melalui akses ke layanan telekomunikasi harus dipertahankan untuk tujuan kemanusiaan, terutama selama masa konflik. Sementara, kelompok-kelompok HAM mengkritik penutupan akses internet sebagai ancaman terhadap warga sipil yang terperangkap di zona konflik. 

"Warga sipil yang hidup dalam konflik perlu mengakses informasi, dan informasi ini sering kali bisa menyelamatkan jiwa. Orang-orang yang terperangkap di negara bagian Rakhine tidak akan dapat mengakses informasi, mengekspresikan diri mereka, atau menjangkau orang yang mereka cintai," kata juru kampanye untuk kelompok hak digital digital Access Now, Berhan Taye, dilansir The Guardian, Selasa (25/6). 

"Penutupan akses internet akan mengganggu upaya kemanusiaan yang diarahkan ke konflik ini. Selain itu, karena penutupan ini, akan sulit untuk mengekspos efek nyata dari konflik pada warga sipil dan tindakan pihak-pihak yang bertikai," kata Taye menambahkan. 

Pemutusan akses internet juga berdampak terhadap para pekerja kemanusiaan yang berada di Rakhine. Sekretaris Kongres Etnis Rakhine, Zaw Zaw Htun mengatakan, sejak internet terputus dirinya tidak bisa mengumpulkan atau memverifikasi berita.

“Pemerintah (sipil) mendukung tindakan militer. Karena mereka adalah pemerintahan yang demokratis, mereka harus memikirkan hak-hak rakyat,” kata Zaw Zaw Htun.

Organisasi hak-hak sipil dan digital yang berbasis di Myanmar merilis pernyataan yang menuntut diakhirinya penutupan akses internet, dan revisi Undang-Undang Telekomunikasi sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Beberapa pengamat menyatakan, pemadaman internet menandakan adanya lonjakan skala pertumpahan darah dalam perang Myanmar melawan AA. Di mana kekejaman militer baru-baru ini termasuk pembunuhan enam warga desa negara bagian Rakhine di pengungsian. 

"Ini seperti Revolusi Saffron pada 2007," kata anggota Dewan Pers Myanmar Zayar Hlaing, merujuk pada pemberontakan demokratis yang secara brutal dihancurkan oleh junta militer yang sebelumnya berkuasa.

"Mereka menutup koneksi dan membunuh para biarawan ketika wartawan asing berjuang untuk mendapatkan informasi dari negara itu," kata Hlaing. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement