REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Pemerintah Myanmar memerintahkan semua penyedia layanan seluler untuk menangguhkan akses layanan internet, Kamis (20/6) pekan lalu. Pemblokiran berlaku di delapan kota di bagian utara negara bagian Rakhine dan satu wilayah di negara bagian Chin yang berdekatan dengan daerah pemberontakan.
Pemblokiran terjadi guna meredam aksi pemberontakan etnis Budha yang kerap meningkat selama beberapa bulan terkahir, di mana pemberontak dituduh melakukan pelanggaran hak terhadap warga sipil. Namun, pemerintah menegaskan bahwa larangan internet yang mulai berlaku Kamis lalu, bertujuan untuk menjaga stabilitas dan hukum serta ketertiban di daerah tersebut.
"Atas permintaan Kementerian Perhubungan dan Komunikasi, merujuk pada gangguan keamanan dan ketertiban serta layanan internet yang dinon-aktifkan sementara untuk memetakan sejumlah aktivitas ilegal," sebut pernyataan salah satu operator ponsel, Telenor Myanmar.
Dilansir Anadolu Agency, kelompok advokasi hak di Myanmar pun menuntut pemulihan segera akses internet yang mati. Kelompok hak asasi lokal menyuarakan keprihatinan atas pemblokiran arus informasi online.
Sebanyak 18 kelompok dan individu mengutuk larangan tersebut. Mereka mengatakan, lebih dari satu juta penduduk di daerah-daerah itu kehilangan akses ke internet.
Dalam sebuah pernyataan bersama pada Senin (24/6) waktu setempat, kelompok-kelompok tersebut mengatakan, bahwa keputusan untuk mematikan internet tanpa pemberitahuan atau pembatasan sebelumnya adalah jelas-jelas melanggar hak atas kebebasan berekspresi dan informasi.
Yin Yadanar Thein dari Free Expression Myanmar, sebuah kelompok advokasi lokal, mengatakan larangan internet hanya akan mengurangi ketersediaan informasi tentang konflik bersenjata dan dampaknya terhadap warga sipil. "Pelarangan ini tidak akan mengurangi konflik bersenjata. Itu juga tidak akan membantu otoritas untuk melindungi warga sipil dari konflik dan dampaknya," katanya kepada Anadolu Agency melalui telepon.
"Jadi larangan itu harus dicabut segera dan tanpa syarat," ujarnya.
Kelompok-kelompok itu juga meminta pemerintah untuk meninjau undang-undang telekomunikasi dan mengamandemeninya agar sesuai dengan standar internasional.