REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Amerika Serikat (AS) merilis rencana perdamaian Israel-Palestina pada Selasa (25/6) dalam konferensi ekonomi "Peace for Prosperity" yang dihelat di Manama, Bahrain.
Penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner adalah tokoh yang memimpin konferensi. Dalam acara itu, Kushner akan berusaha menarik negara-negara donor serta investor untuk menyumbangkan dana sebesar 50 miliar dolar AS.
AS memang mengundang para investor di Asia, Timur Tengah, dan Eropa untuk menghadiri konferensi di Manama. Pejabat-pejabat sejumlah negara, termasuk Arab Saudi, Maroko, Mesir, dan Yordania dilaporkan turut menghadiri acara tersebut. Mesir dan Maroko telah mengonfirmasi kehadiran delegasinya di konferensi Bahrain.
Rencananya, jika dana 50 miliar yang ditargetkan AS terkumpul, sekitar 28 miliar dolar di antaranya akan dialokasikan untuk wilayah Palestina, yakni Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara sisanya akan digelontorkan untuk Yordania (7,5 miliar dolar), Mesir (9 miliar dolar), dan Lebanon (6 miliar dolar).
Dana sebesar 28 miliar dolar untuk Palestina rencananya digunakan untuk membiayai 179 proyek infrastruktur. Salah satunya adalah pembangunan jalur transportasi yang akan menghubungkan Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Kushner meyakini konferensi ekonomi yang berlangsung dua hari di Manama akan berhasil meski ada boikot dari kepemimpinan Palestina. "Kami telah bekerja dengan sangat hati-hati pada proposal yang sangat rinci untuk apa yang kami pikir dapat membawa konflik ini, yang telah macet, maju," ucapnya saat diwawancara Aljazirah.
"Kami berharap bahwa kami akan dapat segera menyelesaikannya dan mudah-mudahan pihak-pihak akan bertanggung jawab, mereka akan terlibat di dalamnya dan mereka akan mencoba untuk bergerak maju," kata Kushner.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa jika memang ada kesepakatan antara Israel-Palestina, hal itu tak akan sejalan dengan inisiatif perdamaian Arab. "Itu akan berada di suatu tempat antara inisiatif perdamaian Arab dan antara posisi Israel," ujarnya.
Kushner menilai, inisiatif perdamaian Arab adalah upaya besar. Namun, jika memang inisiatif tersebut dapat membuahkan kesepakatan, hal itu seharusnya terjadi sejak lama.
Inisiatif perdamaian Arab diusulkan Arab Saudi pada 2002. Inisiatif tersebut menyerukan normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel. Namun Israel harus menarik seluruh pasukannya dari tanah yang didudukinya pasca-perang 1967, termasuk Dataran Tinggi Golan, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat.
Apa yang diharapkan dari inisiatif perdamaian Arab memang tak terjadi. Sebaliknya, Israel terus mempertahankan pendudukan atas Golan, Yerusalem, dan Tepi Barat. Pada Desember 2017, Israel bahkan memperoleh angin segar setelah Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kotanya.
AS menjadi negara pertama yang menempuh langkah tersebut. Dalam wawancaranya dengan Aljazirah, Kushner mengapresiasi keputusan Trump. "Israel adalah negara berdaulat. Negara berdaulat memiliki hak untuk menentukan di mana ibu kotanya berada dan Amerika memiliki hak mengakui keputusan negara berdaulat lain, yang kami pilih untuk kami lakukan," ucapnya.
Mengetahui rencana perdamaian AS tak sama sekali menyinggung tentang hak politiknya, Palestina menyuarakan kecamannya. Ia menolak apa pun bentuk bantuan ekonomi yang hendak diberikan Washington.
"Uang itu penting. Ekonomi penting. Tapi politik lebih penting. Solusi politik lebih penting," kata Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh menilai konferensi ekonomi yang digelar AS di Bahrain sama sekali tak masuk akal. "Apa yang coba dilakukan Israel dan AS sekarang hanyalah menormalkan hubungan dengan orang-orang Arab dengan mengorbankan Palestina," ujarnya.
Hamas pun menentang rencana ekonomi AS. "Pendekatan Trump berupaya mengubah tujuan politik kita menjadi tujuan kemanusiaan, dan untuk menggabungkan pendudukan ke wilayah tersebut," kata pejabat Hamas Mushir al-Masri.
Tak sedikit pula negara-negara Arab yang menegaskan dukungannya terhadap Palestina dan menentang rencana ekonomi AS. Kuwait, misalnya, telah menyatakan memboikot konferensi di Bahrain. "Kuwait adalah pendukung Palestina yang diduduki dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel," ujar ketua parlemen Kuwait Marzouq Al-Ghanim, dilaporkan Middle East Monitor.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi mengecam perhelatan konferensi ekonomi di Bahrain karena dinilai bertujuan "menjual" Palestina. "Konferensi dan penjualan Palestina ini tidak akan mengarah ke mana pun," ucapnya.
Ketua parlemen Lebanon Nabih Berri menegaskan negaranya tidak akan menghadiri konferensi ekonomi di Bahrain. Hal itu merupakan bentuk solidaritas negaranya terhadap Palestina.
“Mereka yang berpikir bahwa melambaikan miliaran dolar dapat memikat Lebanon, yang berada di bawah tekanan krisis ekonomi yang mencekik, untuk menyerah atau menukar prinsip-prinsipnya, keliru,” kata Berri.
Partai-partai politik Mesir yang berhaluan kiri dan liberal mengecam konferensi ekonomi yang akan digelar AS di Bahrain. Menurut mereka, kegiatan itu bertujuan melegitimasi pendudukan tanah Arab. Mereka mengatakan, setiap partisipasi negara Arab akan melampaui batas normalisasi dengan Israel.