REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Hong Kong kembali diguncang kericuhan setelah pengunjuk rasa melakukan demonstrasi di depan kantor kementerian kehakiman, memblokir jalan, dan memaksa para pekerja di dalam gedung untuk pulang lebih awal.
Jutaan warga Hong Kong turun ke jalan selama tiga pekan terakhir. Mereka menuntut rancangan undang-undang ekstradisi yang dapat membuat tersangka dikirimkan ke pengadilan Cina dicabut.
"Saya pikir pergerakan ini sangat sukses karena saat ini tujuan sangat jelas," kata salah satu pengunjuk rasa Ken Yau, Kamis (27/6).
Menurut unjuk rasa tahun ini berbeda dengan demontrasi besar-besaran payung hitam pada 2014. Unjuk rasa yang membuat sebagian pusat keuangan Asia tertutup selama 79 hari.
"Ketika saya berusia 11 tahun Gerakan Payung Hitam terjadi, saya hanya datang beberapa kali ke tempat unjuk rasa bersama keluarga saya," kata Ken.
Dengan suhu panas 32 celsius beberapa pengunjuk rasa berteriak 'Cabut undang-undang jahat, bebeskan para martir'. Mereka juga meminta menteri kehakiman Teresa Cheng untuk keluar dari kantornya.
"Kecam tindakan keras polisi dan bebaskan pengunjuk rasa," kata mereka.
Polisi membentuk barikade untuk menghalangi pengunjuk rasa dan salah satu petugas memegang spanduk peringatan. Terjadi perkelahian kecil antara kelompok pro-demokrasi Demosisto dengan polisi.
Para pengunjuk rasa menuliskan tuntutan mereka di berbagai spanduk. 'Berjuang untuk keadilan', 'Bebaskan Hong Kong', dan 'Demokrasi Sekarang Juga' menghiasi spanduk-spanduk demonstran.
Kepala polisi Stephan Lo memperingatkan konsekuensi pecahnya kekerasan. Ia juga mengencam apa yang ia sebut sebagai sikap bermusuhan terhadap polisi yang membuat petugas kesulitan melakukan pekerjaannya.