REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Fatou Bensouda ingin membuka penyelidikan penuh atas dugaan kejahatan yang dilakukan Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Hal itu diumumkan ICC pada Rabu (26/6).
Dilaporkan laman the Daily Star, Bensouda disebut akan mengajukan permintaan otorisasi untuk membuka penyelidikan atas kasus tersebut. Hakim akan memutuskan apakah akan mengabulkan permintaannya untuk melakukan penyelidikan komprehensif atau skala penuh. ICC tak menyebutkan kapan kira-kira hakim akan membuat keputusan itu.
Pengajuan permohonan untuk melakukan penyelidikan penuh atas kasus Rohingya dilakukan Bensouda setelah melakukan pemeriksaan pendahuluan pada September tahun lalu. Kala itu, hakim memutuskan bahwa meskipun Myanmar belum terdaftar sebagai negara pihak ICC, pengadilan masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan terhadap Rohingya. Sebab Bangladesh, negara yang menampung para pengungsi Rohingya, adalah anggota ICC.
Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di ICC.
Dalam laporan tersebut, Dewan Keamanan PBB pun diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.