REPUBLIKA.CO.ID, OSAKA -- Pemimpin-pemimpin dunia yang menghadiri pertemuan G-20 di Jepang berselisih tentang nilai yang menjadi fondasi kerja sama mereka selama beberapa dekade terakhir. Perdebatan itu terjadi ketika mereka menghadapi ancaman pertumbuhan ekonomi global.
"Ekonomi yang bebas dan terbuka menjadi dasar untuk perdamaian dan kemakmuran," kata Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kepada rekan-rekannya dalam pidato pembukaan pertemuan G-20 di Osaka, Jumat (28/6).
Pertemuan G-20 digelar bertepatan saat para pemimpin dunia menghadapi ketegangan perdagangan, globalisasi, dan ancaman ambruknya kesepakatan nuklir Iran. Sementara itu, G-20 berusaha mencari konsensus mengenai memperluasan pendekatan kebijakan dan isu-isu geopolitik.
Perpecahan di antara anggota G-20 berjalan dangkal dan dalam. Sebelum pembukaan pertemuan G-20, Presiden Dewan Uni Eropa Donald Tus mengecam pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengatakan liberalisme sudah 'usang' dan berkonflik dengan 'mayoritas penduduk' di banyak negara.
"Kami di sini sebagai orang Eropa juga menegaskan dan secara tegas membela dan mempromosikan demokrasi liberal, apa yang saya temukan sebenarnya usang adalah, otoritarianisme, pemujaan personal, hukum oligarki, bahkan disaat hal-hal itu terlihat efektif," kata Tusk.
Hal itu Tusk katakan saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Presiden Cina Xi Jinping, dan Putin menggelar pertemuan-pertemuan di sela-sela G-20. Tusk mengatakan pernyataan Putin mengisyarakatkan artinya 'kebebasan sudah usang, supremasi hukum usang dan hak asasi manusia usang'.
Putin memuji Trump atas upayanya menghentikan aliran imigran dan narkoba dari Meksiko. Ia mengatakan liberalisme 'mengandaikan tidak ada yang perlu dilakukan. Para imigran dapat membunuh, menjarah, dan memperkosa karena mereka memiliki hak sebagai imigran yang dilindungi'.
Trump dan Xi Jinping dijadwalkan akan bertemu pada hari Sabtu (29/6). Pertemuan itu meningkatkan harap perang tarif antara dua perekonomian terbesar di dunia dapat dihentikan.
Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menemani Trump di Osaka. Hal itu mengindikasi potensi adanya pergerakan baru setelah negosiasi sebanyak 11 kali dengan Cina mengalami kebuntuan.
Namun, di saat kemungkinan perang dagang menjadi sorotan banyak peserta pertemuan G-20 yang menilai dibutuhkan perspektif yang luas lagi untuk mengatasi krisis global. Abe mengatakan sangat prihatin dengan situasi ekonomi global saat ini.
"Dunia memperhatikan arah yang kami, pemimpin-pemimpin G-20, tuju, kami harus memiliki pesan yang kuat, yang mana akan mendukung dan memperkuat kebebasan, keadilan dan menghentikan diskriminasi perdagangan," kata Abe.
Di sisi lain, belum ada jaminan kebuntuan perang dagang dapat diatasi. Pada Kamis lalu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang mengatakan negaranya bertekad untuk mempertahankan diri menghadapi langkah-langkah As selanjutnya.
Cina kerap mendapat dukungan untuk mempertahankan kesepakatan perjanjian dagang global dari pertemuan internasional semacam G-20. Mereka dianggap memberikan perlawanan terhadap 'America First' milik Trump yang selalu mendahulukan kepentingan nasionalnya sendiri.
"(Menerapkan tarif impor lebih banyak lagi) tidak akan mempengaruhi kami karena rakyat Cina tidak percaya takhayul dan tidak takut dengan tekanan," kata Geng.
Trump kerap berada dalam posisi-posisi yang ganjil dalam pertemuan internasional. Hal itu terutama dalam isu seperti Iran, perubahan iklim, dan perdagangan.