REPUBLIKA.CO.ID, OSAKA -- Gedung Putih mengatakan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman (MBS) akan membahas hubungan AS dengan Iran yang tengah memanas. Pertemuan kedua pemimpin berlangsung di sela-sela KTT G20 di Osaka, Jepang pada Jumat kemarin.
Hal itu dikatakan oleh juru bicara Gedung Putih Hogan Gidley yang menyebut perbincangan keduanya sangat produktif. "Mereka membahas peran penting Arab Saudi dalam memastikan stabilitas di Timur Tengah, dan pasar minyak global," ujar Gidley dilansir Anadolu Agency, Sabtu (29/6).
Selain itu, Gidley mengatakan, keduanya akan membahas soal meningkatnya ancaman dari Iran, peningkatan perdagangan, dan investasi antara kedua negara, serta pentingnya masalah hak asasi manusia.
Menjelang pertemuan bilateral dengan MBS, Trump mengatakan, adalah suatu kehormatan besar dapat bersama pangeran putra mahkota. "Riyadh adalah pembeli yang baik untuk produk-produk Amerika," kata Trump beberapa waktu lalu. Sementara MBS mengucapkan terima kasih kepada Trump atas komentarnya, dan berharap keselamatan bagi kedua negara kita.
Kendati demikian, Utusan Khusus AS untuk Iran Brian Hook mengatakan, bahwa Pemerintah AS akan menjatuhkan lagi sanksi kepada negara mana pun yang mengimpor minyak Iran tanpa pengecualian. Sebelumnya, pada awal pekan lalu, Presiden AS Donald Trump sudah menargetkan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan pejabat tinggi Iran lainnya dengan sanksi.
"Kami akan menjatuhkan sanksi atas impor minyak mentah Iran," kata Hook ketika ditanya tentang penjualan minyak mentah Iran ke Asia. AS juga akan melihat laporan minyak mentah Iran ke Cina.
"Saat ini tidak ada keringanan minyak. Kami akan memberi sanksi atas pembelian ilegal minyak mentah Iran," kata Hook.
Teheran telah menjual peningkatan volume produk petrokimia dengan harga di bawah harga pasar di negara-negara termasuk Brasil, Cina dan India sejak AS menerapkan kembali sanksi terhadap ekspor minyak Iran pada November. "Iran memang memiliki sejarah menggunakan perusahaan depan untuk menghindari sanksi dan memperkaya rezim dan mendanai petualangan asingnya," kata Hook. Menurutnya, Iran melanggar hukum maritim untuk menyembunyikan ekspor minyaknya.
Tahun lalu, Trump menarik AS keluar dari kesepakatan multinasional. Kesepakatan itu berisi sanksi terhadap Iran yang dicabut dengan imbalan pembatasan terhadap program nuklirnya, yang diverifikasi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).
Washington sejak itu telah memberlakukan kembali sanksi keras terhadap Iran. Tujuannya untuk memangkas penjualan minyak Iran menjadi nol untuk memaksanya menegosiasikan kesepakatan yang lebih luas serta akan mencakup kemampuan rudal balistik dan pengaruh regionalnya.
Iran ingin menjual minyaknya pada tingkat yang sama seperti sebelum Washington menarik diri dari perjanjian itu. "Iran telah terlalu sering menolak diplomasi. Mereka harus menghentikan agenda sektarian ini untuk menciptakan koridor kekuasaan Syiah untuk mendominasi Timur Tengah," kata Hook.
Hook menilai hal tersebut hanya ingin membentuk kembali Timur Tengah dalam citranya sehingga akan sangat menggoyahkan Timur Tengah untuk memiliki rezim teokratis Marxis.
Sementara, para petinggi Iran dan penandatanganan Joint Comperhensive Plan for Action (JCPOA) bertemu di kantor IAEA di Wina, Austria, Jumat (28/6). Meski demikian, Utusan Iran, Wakil Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi mengatakan perundingan Wina memang sebuah kemajuan, namun menurutnya masih belum cukup bahkan tidak memenuhi harapan Iran.
Dia mengatakan, pada akhirnya tergantung pada atasannya di Teheran untuk memutuskan apakah membatalkan rencana untuk melampaui batas dalam kesepakatan nuklir atau tidak. Araqchu tidak percaya hasil pembicaraan itu akan mengubah pikiran mereka.
"Keputusan untuk mengurangi komitmen kami telah dibuat dan kami akan melanjutkan kecuali harapan kami terpenuhi. Saya tidak berpikir kemajuan yang dibuat hari ini akan cukup untuk menghentikan proses kami tetapi keputusan akan dibuat di Teheran," katanya.
Iran yang akan melampaui batas kesepakatan menjadi kekhawatiran yang membayangi para pemimpin Eropa yang berusaha menjaga konfrontasi antara Washington dan Teheran agar tidak lepas kendali. Meskipun mengabaikan kesepakatan itu, Washington telah menuntut negara-negara Eropa untuk memastikan Iran mematuhinya.
Namun, Iran mengatakan, tidak dapat melakukan hal itu kecuali jika Eropa memberikannya beberapa cara untuk menerima manfaat ekonomi yang dijanjikan dari kesepakatan itu.