Senin 01 Jul 2019 15:02 WIB

Demonstrasi di Hong Kong Sasar Dewan Legislatif

Demonstran menolak RUU ekstradiri yang akan mendeportasi kriminal ke Cina.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang RUU ekstradisi dekat Dewan Legislatif di Hong Kong, Senin (17/6).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Pengunjuk rasa berdemonstrasi menentang RUU ekstradisi dekat Dewan Legislatif di Hong Kong, Senin (17/6).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG – Aksi demonstrasi yang berlangsung di Hong Kong masih berlanjut pada Senin (1/7). Situasi kian memanas karena massa berusaha merangsek masuk ke gedung Dewan Legislatif.

Para demonstran berupaya memasuki Dewan Legislatif dengan menghancurkan kaca gedung dengan menggunakan tongkat besi dan troli. Lebih dari 100 polisi anti huru-hara kemudian berlarian ke arah massa dan memukuli mereka dengan tongkat kayu.

Semprotan merica pun digunakan untuk menyingkirkan demonstran dari gedung Dewan Legislatif. Kendati demikian, massa tetap bertahan di sekitar gedung.

Sejak Senin pagi waktu setempat, para pengunjuk rasa telah berkumpul di sekitar kompleks Central Government Offices (CGO). Mereka masih menyuarakan penentangan dan penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. RUU tersebut, jika disahkan, akan menjadi landasan hukum bagi otoritas Hong Kong untuk mendeportasi pelaku kejahatan atau kriminalitas ke Cina daratan.

Juru bicara Civil Human Rights Front Wong Yik Mo menyerukan agar RUU tersebut, yang saat ini ditangguhkan pembahasannya, dibatalkan atau ditarik sepenuhnya. Dia pun menuntut agar pemimpin Hong Kong Carrie Lam, mundur dari jabatannya.

“Ketika kami berjuang untuk demokrasi dan kebebasan, kami berjuang untuk rakyat. Tapi penting untuk menghormati semua orang. Kami harap semua orang tetap aman,” kata Wong yang mengindikasikan bahwa aksi demonstrasi bakal memicu bentrokan dengan aparat keamanan.

Sejak pembahasan RUU ekstradisi ditangguhkan pada 18 Juni lalu, Lam jarang menampakkan diri di muka publik. Namun, setelah dua pekan berselang, dia akhirnya muncul dengan didampingi suaminya yang sekaligus mantan pemimpin Hong Kong, Tung Chee-hwa.

Lam, yang selama ini dicap sebagai pemimpin pro-Cina, mengatakan bahwa gaya pemerintahannya memang perlu diubah. “Insiden yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah menyebabkan kontroversi dan perselisihan antara publik dan pemerintah. Ini telag membuat saya sepenuhnya menyadari bahwa saya, sebagai seorang politisi, harus mengingatkan diri saya setiap waktu tentang kebutuhan untuk memahami sentimen publik secara akurat,” ucapnya.

Kendati demikian, Lam belum secara tegas menyatakan tentang nasib RUU ekstradisi. Jadi tak diketahui apakah RUU tersebut akan dilanjutkan atau dibatalkan.  

Sejak beberapa pekan terakhir, para aktivis di Hong Kong telah menyuarakan kekhawatirannya terhadap RUU ekstradisi. Terdapat dua hal yang mereka tekankan. Pertama RUU tersebut dianggap sebagai ancaman bagi peraturan hukum Hong Kong yang sangat dihargai independensinya.

Kedua, sistem hukum dan peradilan di Cina dinilai cacat karena tak menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, mereka menolak jika terdapat warga Hong Kong yang tersangkut kasus hukum diekstradisi ke Beijing. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement