Selasa 02 Jul 2019 10:16 WIB

Pendemo Rusak Gedung Parlemen Hong Kong

Ribuan orang berusaha merangsek masuk ke gedung Dewan Legislatif.

Polisi menyemprotkan lada ke demonstran yang merusak dinding kaca Dewan Legislatif Hong Kong di Hong Kong, Senin (1/7).
Foto: Steve Leung/HK01 via AP
Polisi menyemprotkan lada ke demonstran yang merusak dinding kaca Dewan Legislatif Hong Kong di Hong Kong, Senin (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Aksi demonstrasi yang berlangsung di Hong Kong masih berlanjut pada Senin (1/7). Situasi kian memanas karena ribuan orang berusaha merangsek masuk ke gedung Dewan Legislatif. Insiden ini terjadi tepat pada perayaan penyerahan kembali Hong Kong dari Inggris kepada Cina sejak 1 Juli 1997.

Demonstran berupaya memasuki Dewan Legislatif dengan menghancurkan kaca gedung menggunakan tongkat besi dan kereta dorong (troli). Mereka menghancurkan foto-foto dan mengotori dinding gedung dengan grafiti sambil membawa aneka barang, seperti troli dan besi dari rambu lalu lintas. Setelah merangsek masuk gedung, beberapa orang menduduki meja anggota parlemen.

Polisi antihuru-hara kemudian berlarian ke arah massa dan memukuli mereka dengan tongkat kayu. Semprotan merica pun digunakan untuk menyingkirkan demonstran dari gedung Dewan Legislatif. Kendati demikian, massa tetap bertahan di sekitar gedung.

Sejak Senin pagi waktu setempat, pengunjuk rasa telah berkumpul di sekitar kompleks Central Government Offices (CGO). Mereka masih menyuarakan penentangan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. RUU tersebut jika disahkan akan menjadi landasan hukum bagi otoritas Hong Kong untuk mendeportasi pelaku kejahatan atau kriminalitas ke Cina daratan.

Juru bicara Civil Human Rights Front, Wong Yik Mo, menyerukan agar RUU tersebut, yang saat ini pembahasannya ditangguhkan, dibatalkan atau ditarik sepenuhnya. Dia pun menuntut agar pemimpin Hong Kong Carrie Lam mundur dari jabatannya.

"Ketika berjuang untuk demokrasi dan kebebasan, kami berjuang untuk rakyat. Namun, penting untuk menghormati semua orang. Kami harap semua orang tetap aman," kata Wong yang mengindikasikan bahwa aksi demonstrasi bakal memicu bentrokan dengan aparat keamanan.

Sejak pembahasan RUU ekstradisi ditangguhkan pada 18 Juni lalu, Lam jarang menampakkan diri di muka publik. Namun, setelah dua pekan berselang dia akhirnya muncul dengan di dampingi suaminya yang sekaligus mantan pemimpin Hong Kong, Tung Chee-hwa.

Lam, yang selama ini dicap sebagai pemimpin pro Cina, mengatakan bahwa gaya pemerintahannya memang perlu diubah. Insiden yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah menyebabkan kontroversi dan perselisihan antara publik dan pemerintah.

"Ini telah membuat saya sepenuhnya menyadari bahwa saya, sebagai seorang politisi, harus mengingatkan diri saya setiap waktu tentang kebutuhan untuk memahami sentimen publik secara akurat," ucapnya.

Kendati demikian, Lam belum secara tegas menyatakan tentang nasib RUU ekstradisi. Karena itulah, tidak diketahui apakah RUU tersebut akan dilanjutkan atau dibatalkan.

photo
Pengunjuk rasa Hong Kong memasang bendera kolonial dan merusak logo Hong Kong di ruang utama gedung legislatif di Hong Kong, Senin (1/7).

Jangan ikut campur

Pemerintah Cina mendesak Inggris berhenti mencampuri urusan domestik Hong Kong. Beijing menilai Inggris tak lagi memiliki tanggung jawab atas wilayah bekas jajahannya tersebut yang dikembalikan ke Cina.

Baru-baru ini Inggris terus-menerus menggerakkan tangan tentang Hong Kong, secara terang-terangan mencampuri. "Kami sangat tidak puas dengan hal ini dan sangat menentang," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, Senin.

Dia mengungkapkan, hak dan kewajiban Inggris atas Hong Kong berdasarkan deklarasi bersama telah berakhir. "Inggris tidak memiliki tanggung jawab atas Hong Kong. Masalah-masalah Hong Kong merupakan murni urusan da lam negeri Cina. Tidak ada negara asing yang memiliki hak untuk ikut campur," ujarnya.

Dua tahun lalu Cina mengumumkan bahwa deklarasi bersama, yang meletakkan cetak biru tentang bagaimana Hong Kong akan diperintah setelah kembali pada Cina, adalah dokumen sejarah yang tak lagi memiliki makna praktis. Namun, Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt pada Ahad (30/6) menyatakan bahwa deklarasi itu tetap berlaku dan merupakan perjanjian sah secara hukum yang komitmennya dijunjung tinggi.

Menjelang peringatan 22 tahun serah terima dokumen deklarasi bersama, Hunt menyoroti gelombang demonstrasi yang hingga kini masih mendera Hong Kong. Aksi massa untuk menolak RUU ekstradisi membuat dia merasa makin penting untuk menegaskan kembali bahwa komitmen Inggris terhadap deklarasi bersama tak tergoyahkan.

Sejak beberapa pekan terakhir, para aktivis di Hong Kong menyuarakan kekhawatirannya terhadap RUU eks tradisi. Mereka khawatir RUU itu di anggap sebagai ancaman bagi peraturan hukum Hong Kong yang independensinya sangat dihargai. Mereka juga menilai sistem hukum dan peradilan di Cina dinilai cacat karena tidak menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM). (kamran dikarna/reuters ed: yeyen rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement