Selasa 02 Jul 2019 11:08 WIB

Protes Hong Kong Dorong Presiden Taiwan Lawan Cina

Presiden Tsai bisa mendapat amunisi untuk memenangkan masa jabatan kedua.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.
Foto: AP Photo/Chiang Ying-ying
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Protes antipemerintah baru-baru ini di Hong Kong turut bergema di Taiwan. Hal ini kemungkinan akan memberikan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dorongan melawan tekanan China untuk penyatuan politik. Tsai bisa mendapat amunisi untuk memenangkan masa jabatan kedua dalam pemilihan tahun depan.

"Orang-orang di jalanan memahami Presiden Tsai mengambil episode undang-undang anti-ekstradisi sebagai dorongan untuk kampanyenya," kata profesor studi strategis di Universitas Tamkang Taiwan, Andrew Huang.

Baca Juga

Demonstrasi dipicu Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam yang mendorong RUU ekstradisi ke China. Hal ini membuat warga Hong Kong tidak terima, sehingga menuntut untuk penghapusan RUU tersebut. Peristiwa di Hong Kong sekarang memberi Tsai lebih banyak amunisi untuk menyerang lawan.

Demonstrasi yang sebagian besar dipimpin mahasiswa di Hong Kong telah menemukan dukungan luas di antara rekan-rekan mereka di Taiwan. Untuk itu memicu protes simpati di luar kantor perwakilan Hong Kong di Taipei.

Hal itu menciptakan alasan umum di kalangan pendukung demokrasi di wilayah semi-otonomi China yang kembali ke kekuasaan China pada 1997, demokrasi pulau, dan bekas jajahan Jepang yang terpisah dari China di tengah perang saudara pada 1949.

Ilmuwan politik Universitas Kentucky Barat Timothy S. Rich, seorang pengamat dekat politik Taiwan mengatakan, protes Hong Kong menyoroti sistem yang jelas dirancang untuk menarik Taiwan ke dalam perundingan unifikasi telah menjadi kegagalan yang menyedihkan. Penekanan pada kedaulatan dan kemandirian harus menguntungkan Tsai dan partainya dengan mengalihkan diskusi dari isu-isu domestik seperti stagnasi upah, dan pengurangan pensiun pegawai negeri.

"Tsai dapat menggunakan ancaman China ke Hong Kong untuk memposisikan dirinya dan partainya sebagai melindungi demokrasi, bahwa adalah benar untuk berhati-hati dalam hal China dan hubungan lintas selat," kata Rich.

Para pemrotes Hong Kong menentang RUU ekstradisi karena mereka dapat mengirim tersangka ke China. Mereka khawatir tersangka akan disiksa dan diadili secara politis di pengadilan di bawah kendali Partai Komunis.

Di Taiwan, itu menimbulkan dilema bagi oposisi Partai Nasionalis. Meskipun telah memenangkan 15 dari 22 kursi utama dalam pemilihan lokal tahun lalu, partai tersebut dicopot dari kekuasaan di tingkat nasional pada 2016. Ini sebagian karena tuduhan pihaknya menandatangani ruang Taiwan untuk bermanuver sebagai entitas politik independen.

Beijing merespons dengan memutuskan hubungan dengan pemerintah Tsai atas penolakannya mengakui Taiwan sebagai bagian integral dari China. Selain itu juga berusaha untuk memperdalam isolasi diplomatik Taiwan dengan merampas sekutu dan melarang perwakilannya dari pertemuan global.

Dalam pidato Januari, Presiden China Xi Jinping sekali lagi mendukung satu negara, dua sistem sebagai masa depan Taiwan. Kemudian menegaskan Komunis yang berkuasa tidak membuat janji untuk meninggalkan penggunaan kekuatan dalam membawa Taiwan di bawah kendali mereka.

Direktur Workshop Studi Taiwan di Fairbank Centre for Chinese Studies, Universitas Harvard, Steven M. Goldstein mengatakan, perkembangan kebijakan selanjutnya terhadap Hong Kong dan Taiwan hanya menambah kekhawatiran tentang niat dari Beijing. "Apakah ini menguntungkan Tsai? Mungkin secara tidak langsung dalam arti hal itu dapat mempersulit upaya lawannya menemukan formula yang lebih positif dalam hubungan dengan China," kata Goldstein.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement