REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS – Uni Eropa menyerukan penyelenggaraan dialog untuk menyelesaikan krisis yang sedang melanda Hong Kong. Hal itu ia utarakan setelah sejumlah demonstran di sana merangsek dan membobol gedung Dewan Legislatif.
“Menyusul insiden terbaru ini, adalah lebih penting untuk menahan diri, menghindari respons yang meningkat, dan terlibat dalam dialog serta konsultasi guna menemukan jalan ke depan,” kata Uni Eropa dalam sebuah pernyataan pada Senin (1/7).
Menurut Uni Eropa, aksi yang dilakukan sejumlah demonstran memasuki gedung Dewan Legislatif secara paksa tak mewakili massa yang lebih besar. Sebab, mereka telah melakukan demonstrasi secara damai selama beberapa pekan terakhir.
Pada Senin lalu, sejumlah demonstran menggeruduk gedung Dewan Legislatif Hong Kong. Mereka memecahkan kaca gedung dengan tongkat besi dan kereta dorong (troli). Setelah itu, mereka memasuki gedung dan melakukan aksi perusakan.
Polisi anti huru-hara kemudian berusaha mengeluarkan para demonstran dari gedung dengan memukuli mereka menggunakan tongkat kayu serta semprotan merica. Belasan orang, termasuk petugas, mengalami luka-luka akibat kejadian tersebut.
Demonstrasi yang berlanjut di Hong Kong masih menyuarakan penentangan dan penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. RUU tersebut, jika disahkan, akan menjadi landasan hukum bagi otoritas Hong Kong untuk mendeportasi pelaku kejahatan atau kriminalitas ke Cina daratan.
Juru bicara Civil Human Rights Front Wong Yik Mo menyerukan agar RUU tersebut, yang saat ini ditangguhkan pembahasannya, dibatalkan atau ditarik sepenuhnya. Dia pun menuntut agar pemimpin eksekutif Hong Kong Carrie Lam, mundur dari jabatannya.
Lam, yang selama ini dicap sebagai pemimpin pro-Cina, mengatakan bahwa gaya pemerintahannya memang perlu diubah. “Insiden yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah menyebabkan kontroversi dan perselisihan antara publik dan pemerintah. Ini telah membuat saya sepenuhnya menyadari bahwa saya, sebagai seorang politisi, harus mengingatkan diri saya setiap waktu tentang kebutuhan untuk memahami sentimen publik secara akurat,” ucapnya.
Kendati demikian, Lam belum secara tegas menyatakan tentang nasib RUU ekstradisi. Jadi tak diketahui apakah RUU tersebut akan dilanjutkan atau dibatalkan.
Sejak beberapa pekan terakhir, para aktivis di Hong Kong telah menyuarakan kekhawatirannya terhadap RUU ekstradisi. Terdapat dua hal yang mereka tekankan. Pertama, RUU tersebut dianggap sebagai ancaman bagi peraturan hukum Hong Kong yang sangat dihargai independensinya. Kedua, sistem hukum dan peradilan di Cina dinilai cacat karena tak menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM).