REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Cina menyalahkan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dan mantan penguasa kolonial Hong Kong, Inggris, karena memihak kepada demonstran. Surat kabar berbahasa Inggris yang sering digunakan oleh Beijing untuk menyampaikan pesannya ke seluruh dunia, China Daily mengecam pihak asing yang ikut campur dalam aksi protes di Hong Kong.
"Hal yang patut diperhatikan adalah kemunafikan beberapa pemerintah Barat, AS dan Inggris yang paling menonjol, dan menyerukan penghentian kekerasan, seolah-olah mereka tidak ada hubungannya dengan hal itu. Tapi, melihat kembali seluruh aksi protes, mereka telah terlibat dalam mendorongnya sejak awal," tulis China Daily dalam editorialnya, Rabu (3/7).
Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt mengutuk kekerasan dalam aksi protes yang terjadi di Hong Kong. Hunt juga memperingatkan konsekuensi jika China mengabaikan komitmen yang dibuat ketika mengambil kembali Hong Kong untuk mendapatkan kebebasan, termasuk hak untuk protes.
Menanggapi pernyataan Hunt, China mengatakan bahwa Inggris tidak lagi memiliki tanggung jawab terhadap Hong Kong. Oleh karena itu, Inggris perlu berhenti campur tangan mengenai Hong Kong.
Sebuah tajuk rencana dalam surat kabar terkemuka Cina, People's Daily menuliskan bahwa konfrontasi dan pelanggaran hukum dapat merusak reputasi Hong Kong sebagai pusat bisnis internasional, serta melukai perekonomiannya. China menyebut kekerasan yang terjadi dalam aksi demo Senin (1/7) lalu sebagai tantangan yang terang-terangan terhadap model pemerintahan "satu negara, dua sistem".
"Tidak mengherankan ada beberapa ketidaksepakatan dan bahkan perselisihan besar tentang masalah-masalah tertentu, tetapi jika kita jatuh ke pusaran 'overpoliticisation' dan secara artifisial menciptakan perpecahan dan pertentangan, itu tidak hanya tidak memiliki tujuan, tetapi juga akan sangat menghambat ekonomi dan pembangunan sosial," tulis People's Daily.
People's Daily menyatakan, ketidaksepakatan aturan hukum tidak berarti membuat sejumlah kecil ekstremis harus melakukan kekerasan yang akan merusak reputasi Hong Kong sebagai kota bisnis internasional. Hal itu menjadi sebuah peringatan bahwa Hong Kong berada di bawah tekanan sebagai akibat dari perubahan ekonomi global dan persaingan.
Demonstrasi yang terjadi selama berminggu-minggu di Hong Kong mencerminkan adanya peningkatan rasa frustasi masyarakat terhadap pemerintahan Kepala Eksekutif Carrie Lam, yang dinilai tidak menanggapi tuntutan mereka. Aksi protes dipicu oleh upaya pemerintah mengubah undang-undang ekstradisi, sehingga pelaku tindak kriminal dapat dikirim ke Cina untuk diadili.
Lam telah menangguhkan rancangan undang-undang (RUU) tersebut tanpa batas, tetapi dia tidak setuju untuk menghapusnya. RUU ekstradisi telah meningkatkan kekhawatiran akan mengikis kebebasan Hong Kong. Para pengunjuk rasa meminta pemerintah menarik RUU tersebut, dan Lam mengundurkan diri dari jabatannya.
Lam, yang mendapat kecaman pedas menggelar konferensi pers sebelum fajar didampingi pejabat keamanan pada Selasa di markas polisi. Lam mencatat bahwa terjadi dua protes yang berbeda pada Senin (1/7) lalu, yakni aksi demo yang teratur dan mencerminkan inklusif Hong Kong, serta aksi lainnya yang menggunakan vandalisme dan kekerasan.
"Ini adalah sesuatu yang harus kita kutuk dengan serius," ujar Lam.
Lam membantah tuntutan para pengunjuk rasa bahwa pemerintah tidak mendengarkan mereka. Lam mengatakan, pemerintah telah menunda RUU tanpa batas waktu untuk melakukan peninjauan kembali.
Sementara, untuk tuntutan lainnya, Lam berjanji akan melepaskan demonstran yang ditahan tanpa melalui tahap investigasi. Kontroversi RUU ekstradisi telah memberikan momentum baru bagi gerakan oposisi pro-demokrasi Hong Kong, serta membangkitkan kekhawatiran yang lebih luas bahwa China mengabaikan hak-hak yang dijamin untuk Hong Kong selama 50 tahun di bawah kerangka "satu negara, dua sistem".