Rabu 03 Jul 2019 15:08 WIB

Krisis Hong Kong dan Kegelisahan Para Pebisnis

Sebagian pebisnis berencana memindahkan kantor dari Hong Kong.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Massa pengunjuk rasa penentang rancangan undang-undang ekstradiksi berhasil masuk ke dalam gedung legislatif Hong Kong, Senin (1/7).
Foto: AP/Vincent Yu
Massa pengunjuk rasa penentang rancangan undang-undang ekstradiksi berhasil masuk ke dalam gedung legislatif Hong Kong, Senin (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG – Gelombang demonstrasi yang telah membekap Hong Kong selama beberapa pekan terakhir telah menimbulkan kegelisahan di kalangan pebisnis dan pengusaha di sana. Tak sedikit dari mereka yang berencana untuk memindahkan kantornya dari sana.

Yumi Yung (35 tahun), seorang pegawai yang bekerja di sektor fintech menilai, serangkaian aksi demonstrasi dan kerusuhan yang telah terjadi berpotensi merusak reputasi Hong Kong sebagai salah satu pusat bisnis dan keuangan internasional. “Beberapa perusahaan mungkin ingin meninggalkan Hong Kong atau setidaknya tidak memiliki kantor pusat di sini,” kata dia pada Rabu (3/7).

Baca Juga

Steve, pengacara asal Inggris yang telah bekerja di Hong Kong selama 30 tahun menyoroti tentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang menjadi musabab terjadinya krisis saat ini. Dia menilai, selama RUU itu dipertahankan, demonstrasi dan kerusuhan kemungkinan terus berlanjut “Jika RUU ini tidak sepenuhnya dihapus, saya tidak punya pilihan selain meninggalkan rumah saya, Hong Kong,” ucapnya.

Seorang manajer keuangan berusia 44 tahun yang enggan dipublikasikan identitasnya mengaku bersiap hengkang dari Hong Kong jika kerusuhan kembali terjadi. “Jika itu meningkat, saya akan mempertimbangkan untuk pindah ke tempat lain. Saya mempekerjakan empat hingga lima orang di Hong Kong, jadi saya mempertimbangkan untuk pindah,” kata dia.

Sementara itu, terdapat pula kalangan yang mencemaskan masa depan kehidupan sosial di Hong Kong. “Bagi saya, kekhawatiran terbesar adalah bagaimana Hong Kong kehilangan kemerdekaannya sedikit demi sedikit dan semakin dekat dengan negara yang tak menghargai hak asasi manusia serta tak memiliki sistem peradilan yang independen,” ujar Edward, seorang warga negara Australia yang telah bekerja di sektor keuangan di Hong Kong selama 10 tahun. Negara yang disinggung dalam pernyataan Edward adalah China.

Hal serupa turut diutarakan seorang pengusaha perempuan asal Australia yang telah bekerja di Hong Kong selama 16 tahun. “China semakin merampas kebebasan dari Hong Kong. Saya merasa kasihan kepada rakyat Hong Kong, terutama orang-orang Hong Kong di sini untuk lebih banyak kebebasan, ekonomi yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik, dan sekarang hal itu mundur,” ujarnya.

Setidaknya terdapat 1.500 perusahaan multinasional yang menjadikan Hong Kong sebagai kantor pusatnya di Asia. Hong Kong dipilih karena stabilitas dan peraturan hukumnya. Namun, aksi demonstrasi yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir telah mengubah persepsi tersebut.

Sejak beberapa pekan terakhir, para aktivis di Hong Kong telah menyuarakan kekhawatirannya terhadap RUU ekstradisi. Terdapat dua hal yang mereka tekankan. Pertama, RUU tersebut dianggap sebagai ancaman bagi peraturan hukum Hong Kong yang sangat dihargai independensinya. Kedua, sistem hukum dan peradilan di China dinilai cacat karena tak menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement