REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Panglima Tertinggi Pengawal Revolusi Iran, Hossein Salami mengatakan, para musuh-musuh Iran khawatir bahwa potensi perang akan pecah. Oleh sebab itu, mereka kini berfokus pada konflik ekonomi.
"Di bidang militer, kami telah benar-benar menutup jalan bagi musuh. Dalam situasi saat ini adalah musuh yang khawatir tentang pecahnya perang dan kekhawatiran ini terlihat dalam perilaku fisik dan taktis mereka. Di persimpangan saat ini, perang ekonomi adalah medan utama bagi musuh untuk menghadapi kita," ujar Salami dikutip kantor berita semi-resmi Fars, Rabu (3/7).
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Iran telah meningkat sejak Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) 2015, pada tahun lalu. AS kemudian memberikan sanksi kepada Iran dengan mengenakan embargo terhadap minyak produksi Teheran. Akibatnya, perekonomian Iran kini mulai goyah.
Selain itu, Trump juga menuding Iran harus bertanggung jawab atas penyerangan kapal tanker minyak di kawasan Teluk. Tuduhan tersebut dengan tegas dibantah oleh Iran.
Sementara, negara Eropa yang ikut menandatangi perjanjian nuklir, yakni Prancis, Jerman, dan Inggris, telah berupaya untuk menghentikan konfrontasi langsung antara Iran dan AS. Mereka takut tindakan secara tidak sengaja dalam kondisi yang sedang tegang, bisa memantik perang secara tidak sengaja.
Di lain sisi, Israel yang merupakan musuh Iran, terus mendorong Donald Trump untuk menekan Iran dengan sanksi. Dengan begitu, menurut Israel, Iran akan mau bernegosiasi untuk kesepakatan nuklir yang terbatas.
Kantor berita semi-resmi Iran Fars melaporkan, cadangan uranium yang diperkaya negara itu kini telah melewati batas 300 kilogram, yang diizinkan berdasarkan kesepakatan. Badan pengawas nuklir AS, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memantau program nuklir Iran berdasarkan kesepakatan itu. IAEA mengonfirmasi di Wina, Iran telah melanggar batas tersebut. Jika Iran terus melampaui batas pengayaan uranium mereka, maka bukan tidak mungkin Iran akan kembali menderita oleh sanksi internasional seperti saat pakta nulir belum disepakati.