Merasa dirugikan akibat kualitas udara yang terus memburuk di ibukota Jakarta, sejumlah warga menggugat Gubernur, Menteri hingga Presiden ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kualitas udara ibukota buruk:
- Sebanyak 31 orang warga ajukan gugatan warga negara terkait polusi udara di ibu kota
- Tujuh tergugat yakni Presiden RI, 3 Menteri dan 3 Gubernur
- Dasar hukum penanganan polusi udara di Indonesia telah kadaluarsa
Sebanyak 31 orang warga yang mewakili masyarakat yang berdomisili di ibukota Jakarta dan sekitarnya resmi mendaftarkan gugatan warga negara atau citizen law suit (CLS) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/7/2019).
Dalam gugatan itu mereka menuntut hak atas udara bersih dan menilai para tergugat telah lalai melakukan tugas dan kewenangan untuk mengendalikan polusi dan memperbaiki kualitas udara di ibukota.
Para tergugat itu meliputi Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, serta turut tergugat Gubernur Jawa Barat dan Gubernur Banten.
Warga dari berbagai latar belakang mulai dari ibu rumah tangga, tukang ojek, karyawati, advokat hingga aktivis itu mengeluhkan kualitas udara di Jakarta yang kian memburuk.
Salah satu warga penggugat bernama Istu Prayogi mengatakan kualitas udara yang buruk mempengaruhi kondisi kesehatannya yang sehari-hari bekerja di Jakatrta.
"Dokter memvonis ada bercak-bercak flek di paru-paru saya dan menyatakan bahwa paru-paru saya sensitif terhadap udara tercemar. Karena kondisi ini, dokter mewajibkan saya selalu memakai masker. Saya menjadi sangat tidak nyaman dan mengganggu aktivitas dan kerja saya," katanya.
Gugatan ini dikoordinir oleh koalisi yang diantaranya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Greenpeace Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta.
Ayu Eza Tiara, pengacara publik dari LBH Jakarta mengatakan gugatan ini berawal inisiatif jejaring aktivis di ibukota untuk membuka pos pengaduan warga terkait polusi di ibukota secara online pada bulan April lalu. Dan ternyata berhasil menjaring puluhan pengaduan dari warga.
Namun menurutnya gugatan ini sendiri didasarkan dari hasil pemantauan dan kajian polusi udara di Jakarta yang jejaring sejak 2016 silam.
"Kajian pencemaran udara ini sudah kami lakukan sejak 2016, jadi bukan seminggu dua minggu disusun lalu kami mengajukan gugatan. Kita juga sudah melakukan audiensi, mediasi dengn Lembaga pemerintah dan memberitahu mereka kala ini loh kondisi udara di Jakarta, lalu dampaknya seperti ini," kata Ayu.
"Tapi responnya negatif, mereka cenderung defensif dengan mempertanyakan metode yang kami gunakan dan sebagainya," katanya.
Pemerintah lalai tangani polusi
Buruknya kualitas udara di ibukota memang tengah menjadi sorotan. Pada akhir bulan lalu, Data AirVisual, situs penyedia peta polusi online harian kota-kota besar di seluruh dunia menunjukkan, Jakarta menempati urutan pertama kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia.
Indeks kualitas udara (AQI) Indonesia masuk dalam kategori "tidak sehat" dan sudah melebihi baku mutu udara ambien harian (PM 2,5 di atas 65 ug/m3).
Bondan Andriyanu, juru kampanye energi Greenpeace Indonesia mengatakan pemantauan kualitas udara yang dilakukan oleh lembaganya menunjukan jumlah hari dimana kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat semakin mendominasi.
"Aturan yang berlaku di kita rata-rata harian untuk Standar baku mutu ambien adalah 65, diatas angka itu berarti kualitas udara kita sudah tidak layak untuk kesehatan. Tapi dari alat pemantauan baku mutu di sejumlah tempat itu seperti di Monas dan di Blok M, itu angkanya diatas 65 semua. 70, 85 bahkan tanggal 19 Juni lalu itu angkanya 90. Itu artinya udara yang kita hirup sudah tidak sehat." Katanya.
Sayangnya hingga saat ini pemerintah tidak memiliki kebijakan yang serius dan terukur untuk memperbaiki kualitas udara di ibukota.
Salah satu bukti ketidakseriusan itu adalah dasar hukum yang menjadi acuan upaya pengendalian polusi di Indonesia yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 tahun 1999 yang dianggap sudah kadaluarsa.
"Selain tidak sesuai dengan standar WHO, dimana baku mutu WHO saat ini 25 dan kita masih 65, ini artinya baku mutu kita sangat lemah. Lalu sumber polusi yang tercantum dalam aturan itu juga hanya transportasi saja padahal sekarang sumber polusinya sudah beragam. Kok bisa aturan yang ini sudah usang ini masih digunakan."
"Untuk mengubah ini kita perlu Presiden turun tangan. Karenanya kita turut masukan sebagai tergugat." Kata Bondan.
Alat pemantau sangat kurang
Dalam gugatan ini warga mengajukan sejumlah tuntutan, salah satu yang mendasar dan sangat mendesak untuk diperbaiki pemerintah menurut Bondan adalah memperbanyak alat pemantauan kualitas baku mutu ambien udara.
Pengukuran kualitas udara di Jakarta saat ini mengandalkan lima stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) milik Pemprov DKI yang tersebar di Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk.
"Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) ini sangat kurang, karena idealnya Jakarta ini punya 22-26 SPKU, jadi ini masih sangat kurang." Katanya.
Selain itu, warga dalam gugatan ini juga berharap pemerintah melakukan inventarisasi pencemaran udara di ibukota yang dilakukan secara berkala dari semua jenis sumber pencemaran. Kajian ilmiah ini penting untuk mengukur kegagalan atau keberhasilan program pengendalian yang dilakukan.
Laporan inventarisasi pencemaran udara di ibukota yang diterbitkan oleh Indonesian Centre for Enviromental Law (ICEL) mengungkapkan Pemerintah DKI Jakarta tidak pernah melakukan atau menganggarkan kajian inventarisasi pencemaran udara kecuali pada tahun 2011 lalu dan itupun bukan atas inisiatif Pemprov DKI.
Menanggapi sorotan terhadap buruknya kualitas udara di Ibukota, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan beberapa waktu lalu malah menuding penyumbang terbesar polusi udara di ibukota adalah bahan bakar batubara yang digunakan oleh fasilitas pembangkit listrik yang ada di sekitar Jakarta.
"Pembangkit listriknya ada di sekitaran Jakarta, tapi efeknya ke kita. Udah ada data nanti abis Lebaran minta data," ucap Anies ketika itu.
Tudingan ini langsung dibantah oleh Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan PPKL Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, M.R. Karliansyah
"Kalau PLTU tidaklah, karena yang di Jakarta semua sudah pakai gas. PLTU (batu bara) adanya di Cilegon dan Cirebon, jauh, harus dilihat arah anginnya juga," ujarnya.
Ikuti berita-berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia disini.