Jumat 05 Jul 2019 22:05 WIB

PBB Bisa Selidiki Filipina atas Operasi Perang Narkoba

Pemerintah Duterte dituding membunuh ribuan orang dengan dalih pemberantasan narkoba.

Red: Nur Aini
Presiden Filipina Rodrigo Duterte
Foto: AP Photo/Aaron Favila
Presiden Filipina Rodrigo Duterte

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Puluhan negara secara resmi menyeru penyelidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus ribuan pembunuhan di Filipina saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerangi narkoba.

Para aktivis menyatakan Islandia mengajukan rancangan resolusi yang didukung mayoritas negara Eropa. Rancangan tersebut mendesak pemerintah untuk mencegah eksekusi di luar hukum sekaligus menandai pertama kalinya Dewan HAM diminta untuk membahas krisis tersebut.

Baca Juga

Pemerintah Duterte bersikeras bahwa lebih dari 5.000 tersangka pengedar narkoba yang mati di tangan polisi dalam operasi antinarkoba semuanya melakukan perlawanan. Namun, para aktivis mengatakan sedikitnya 27 ribu orang tewas sejak Duterte terpilih pada 2016 berdasarkan program penumpasan kejahatan. Mereka menyatakan Myka, bocah berusia tiga tahun yang ditembak saat penggerebekan pekan lalu, merupakan korban terbaru.

"Kami, tiga tahun kemudian melihat 27 ribu orang terbunuh, di antara yang paling miskin dalam penindakan keras secara masif. Itu adalah estimasi konservatif," kata Ellecer "Budit" Carlos dari kelompok iDefend yang berbasis di Manila kepada Reuters.

"Dalam konflik tanpa senjata, ini merupakan kasus pembunuhan di luar proses hukum paling buruk," kata dia setelah mendesak dewan untuk bertindak.

Forum Jenewa akan melakukan pemungutan suara tentang resolusi tersebut sebelum mengakhiri sidang mereka pada 12 Juli. Filipina termasuk 47 anggota saat ini. Carlos menambahkan bahwa negara-negara Asia sepertinya tidak menggelar pemungutan suara untuk mendukung rancangan tersebut, menambahkan: "Saya rasa itu akan berbahaya."

Salah satu duta besar Asia, yang identitasnya dirahasiakan, mengindikasikan bahwa negaranya tidak akan mendukung itu. "Ada hal-hal buruk terjadi di dunia," ujarnya.

Namun, aktivis mengatakan Dewan dan kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet harus menjelaskan situasi ini.

"Bagi kami prioritas utama di sidang ini adalah situasi di Filipina," kata Laila Matar dari Human Rights Watch.

"Banyak jasad menumpuk di Manila dan sejumlah daerah perkotaan lainnya, lagi-lagi dalam konteks perang terhadap narkoba yang kami lihat adalah perang melawan masyarakat miskin, melarat dan terpingggirkan, yang menjadi korban paling banyak," ungkap dia. Itu terjadi dalam konteks yang lebih luas dalam "serangan terhadap pembela HAM, aktivis media, wartawan, dan siapapun yang benar-benar lantang berbicara melawan pembunuhan," tambahnya.

Menteri Kehakiman Filipina, Menardo Guevarra pada Jumat mengatakan pemerintah tak perlu diberitahu oleh siapapun untuk menghentikan eksekusi di luar hukum. Menurutnya, hal itu karena membunuh tersangka yang tidak melakukan perlawanan tidak pernah menjadi kebijakan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement