REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Iran akan mengumumkan peningkatan kekayaan uranium hingga lima persen pada Ahad (7/6). Peningkatan itu melampui batas perjanjian nuklir yang disepakati enam negara pada 2015.
"Pengumuman utama esok hari, pengayaan kadar uranium akan menjadi 5 persen, dari sebelumnya sebanyak 3,67 persen yang kami sepakati," kata otoritas Iran, Ahad (7/7).
Negosiator nuklir senior Iran Abbas Araqchi disebut bakal mengumumkan fakta-fakta terkait peningkatan kadar uranium itu.
Pernyataan peningkatan itu dikeluarkan tepat sebelum batas waktu yang ditetapkan oleh Iran kepada negara-negera Eropa peserta perjanjian nuklir 2015 untuk menawarkan persyaratan baru dalam perjanjian tersebut.
"Amerika secara langsung dan Eropa secara tidak langsung melanggar kesepakatan," kata Politikus Iran Ali Akbar Velayati dalam sebuah video seperti yang dikutip The Guardian, Ahad (7/7)
Pernyataan Velayati merupakan bagian dari gertakan Iran Teheran pada Eropa. Pihak-pihak Eropa yang ada dalam perjanjian nuklir 2015 belum menawarkan cara bagi Iran untuk menghindari sanksi ekonomi besar-besaran yang dijatuhkan oleh Donald Trump.
Trump menarik AS dari perjanjian nuklir untuk menargetkan penjualan minyak krusial di Iran. "Jika mereka kembali untuk memenuhi komitmen mereka, kami juga akan melakukannya," kata Velayati.
Pada perjanjian nuklir 2015, Iran setuju untuk memperkaya uranium tidak lebih dari 3,67 persen. Jumlah ini dinlai cukup untuk program damai, dan jauh di bawah level senjata-tingkat 90 persen.
Iran berulangkali membantah telah membangun senjata nuklir. Terkait peningkatan persediaan uranium hingga 5 persen, masih belum diketahui sampai tingkat apa Iran akan mempertahankan kebijakan itu.
Namun, dalam sambutannya Velayati menyebut pengayaan 5 persen terkait reaktor nuklir pembangkit daya. "Untuk reaktor nuklir Bushehr, kami membutuhkan 5 persen pengayaan dan itu adalah tujuan yang sepenuhnya damai," katanya.
Bushehr merupakan satu-satunya pembangkit listrik tenaga nuklir Iran yang menggunakan bahan bakar impor dari Rusia.
Pembangkit listrik dipantau secara ketat oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA) PBB. Iran sendiri sejatinya telah menghentikan produksi nuklir sampai 5 persen sejak Januari 2014 tepat sebelum perjanjian 2015.