Senin 08 Jul 2019 12:49 WIB

Amnesty Desak PBB Selidiki Operasi Narkoba Filipina

Ribuan orang tewas dalam operasi pemberantasan narkoba Filipina.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Aktivis Filipina meneriakkan tuntutan mengakhiri pembunuhan terkait perang narkoba yang digalakkan Presidan Rodrigo Duterte di luar markas polisi Camp Crame di Kota Quezon, Manila, Filipina, 24 Agustus 2016.
Foto: AP Photo/Aaron Favila
Aktivis Filipina meneriakkan tuntutan mengakhiri pembunuhan terkait perang narkoba yang digalakkan Presidan Rodrigo Duterte di luar markas polisi Camp Crame di Kota Quezon, Manila, Filipina, 24 Agustus 2016.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Amnesty International menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan penyelidikan internasional terhadap tindakan kejahatan kemanusiaan di Filipina. Dalam sebuah penelitian yang dirilis pada Senin (8/7), pembunuhan di luar hukum dalam kasus perang melawan narkoba yang dilancarkan oleh Presiden Rodrigo Duterte telah mencapai ambang batas terhadap kejahatan kemanusiaan.

Sekitar 6.000 orang, sebagian besar telah dituduh melakukan kejahatan narkoba kecil dan terbunuh dalam operasi anti-narkotika yang diluncurkan oleh Duterte pada 2016. Tetapi, kelompok-kelompok nonpemerintah mengklaim jumlah korban jiwa yang jauh lebih tinggi. Termasuk banyak tersangka yang terbunuh oleh orang-orang bersenjata,  yang dicurigai dibiayai oleh petugas polisi.

Baca Juga

Amnesty International mengatakan, Provinsi Bulacan yang terletak di utara Manila telah menjadi ladang pembunuhan paling berdarah di Filipina. Tingkat pembunuhan meningkat setelah beberapa petugas yang terlibat dalam operasi anti-narkotika dipindahkan ke provinsi tersebut dari Manila.

"Di dalam komunitas yang terpinggirkan, polisi terus membunuh dengan impunitas total, memicu iklim ketakutan yang meluas di kota-kota, kota-kota, dan lingkungan. Ketergantungan pada kebijakan kekerasan dan represif terus berlanjut untuk melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran di negara ini," ujar Amnesty International dalam pernyataannya.

Amnesty International menyelidiki 20 insiden terkait narkoba, di mana 27 orang terbunuh di Bulacan pada Mei-April 2018. Mereka mewawancarai para saksi, keluarga korban, pejabat setempat, dan aktivis hak asasi. Amnesty International menyimpulkan, setengah dari insiden pembunuhan tersebut merupakan eksekusi di luar pengadilan. Sementara, kasus lainnya belum dapat disimpulkan karena kesulitan memperoleh informasi mengenai pembunuhan tersebut. 

Menurut Amnesty International, petugas polisi selalu membenarkan kematian dengan mengklaim bahwa tersangka melakukan perlawanan. Selain itu, polisi secara paksa masuk ke rumah-rumah dan melepaskan tembakan, kemudian mengklaim para tersangka melakukan perlawanan. 

Amnesty International mempertanyakan keakuratan daftar pantauan narkoba, yang berisi nama-nama tersangka narkoba yang ditargetkan dalam penggerebekan polisi. Mereka meminta Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk segera memulai penyelidikan atas kasus pembunuhan tersebut. Mereka meminta jaksa penuntut Pengadilan Kriminal Internasional untuk mempercepat pemeriksaan dan membuka penyelidikan terpisah.

"Pemerintah asing harus menggunakan semua alat diplomatik dan politik untuk menekan Filipina agar segera mengakhiri semua kejahatan yang dilakukan di bawah penumpasan, dan menghentikan bantuan asing atau dukungan apa pun yang dapat berkontribusi pada komisi pelanggaran hak asasi manusia oleh petugas kepolisian, " ujar pernyataan Amnesty Internasional. 

Terkait laporan tersebut, pemerintah Filipina belum memberikan tanggapan. Presiden Duterte dan kepolisian membantah ada otorisasi pembunuhan di luar proses hukum. Dalam setiap pidatonya, Duterte selalu mengancam para tersangka narkoba dengan tindakan tembak mati. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement