Rabu 10 Jul 2019 06:56 WIB

Cendekiawan Muslim Jadi Penasihat HAM Trump

Menlu AS membentuk komisi untuk meninjau peran HAM dalam kebijakan publik AS.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Ani Nursalikah
Seorang cendekiawan Muslim kelahiran Amerika Serikat (AS), Hamza Yusuf menjadi bagian tim pemeriksa kebijakan HAM Presiden AS Donald Trump.
Foto: Middle East Eye
Seorang cendekiawan Muslim kelahiran Amerika Serikat (AS), Hamza Yusuf menjadi bagian tim pemeriksa kebijakan HAM Presiden AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Seorang cendekiawan Muslim kelahiran Amerika Serikat (AS), Hamza Yusuf, menghadapi kritik atas keputusan menjadi bagian tim pemeriksa kebijakan HAM Presiden AS Donald Trump. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo meluncurkan Komisi Hak yang Tak Dapat Diambil pada Senin (8/7).

Pompeo menyebut komisi itu terdiri dari para ahli hak asasi manusia dari berbagai latar belakang dan kepercayaan. Komisi itu bertugas meninjau peran hak asasi manusia dalam kebijakan publik Amerika.

Baca Juga

Kritik terhadap komisi tersebut menimbulkan kekhawatiran panel, setelah penunjukan profesor hukum Harvard Mary Ann Glandon atau mantan duta besar AS untuk Vatikan. Dia memimpin upaya menentang aborsi sebagai hak asasi manusia internasional pada konferensi Wanita PBB 1995 di Beijing.

Seorang dosen Studi Islam yang belajar di Universitas Princeton di AS, Usaama al-Azami menganggap keputusan Yusuf bekerja dengan pemerintahan Trump adalah hal mengganggu dalam Islam di Barat.

“Bagi salah satu cendekiawan Islam Barat yang paling dikenal, ikut campur dengan pemerintahan yang paling kejam dan islamofobik dalam sejarah Amerika, akan dipandang oleh banyak Muslim sebagai suatu kesalahan yang tak termaafkan, yang tidak akan mudah dilupakan,” kata Azami dilansir di Middle East Eye, Rabu (10/7).

Menurut dia, keputusan itu lebih buruk daripada nasihat yang pernah disampaikan kepada pemerintahan Bush, setelah peristiwa tragis 9/11. Kepresidenan Donald Trump memenangkan nominasi Partai Republik atas dasar tuntutan umpan Islamofobik, inkonstitusional untuk pendaftaran Muslim, dan larangan bepergian Muslim.

Seorang pengajar di Universitas Birmingham, Walaa Qusaiy tidak terkejut dengan keputusan Yusuf bergabung dengan panel Trump. Dia percaya kesetiaan Yusuf yang dekat dengan Sheikh Abdullah Bin Bayyah memainkan peran dalam sikap yang telah dipilih.

“Selama bertahun-tahun, Hamza Yusuf fokus pada gagasan stabilitas dan pemerintahan sebagai cita-cita, dan umat Islam seharusnya tidak terlibat secara politis. Namun, ketika pemerintah kemudian menggunakan narasi ini untuk menegaskan supremasi negara dan rezim maka itu menjadi masalah,” ujar Qusaiy.

Peran agama dan politik Yusuf dalam UEA, menjadikannya aktor internasional. Perguruan tinggi Zaytuna yang didirikan bersama Yusuf tidak menanggapi itu itu.

Tahun lalu, Yusuf dikritik oleh kelompok-kelompok HAM karena menggambarkan Uni Emirat Arab sebagai negara yang memperjuangkan masyarakat sipil dan berkomitmen pada toleransi. Pada 2017, Human Rights Watch (HRW) melaporkan UEA membungkam orang-orang di negaranya karena berbicara menentang pelanggaran HAM di wilayah tersebut sejak 2011.

"Penduduk UEA yang telah berbicara tentang masalah hak asasi manusia berada dalam risiko serius penahanan, pemenjaraan, dan penyiksaan sewenang-wenang," kata HRW.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement