REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Majelis Nasional Nigeria ditutup dan dikunci akibat tembakan dalam bentrokan antara polisi dan sekelompok pengunjuk rasa Muslim Syiah. Gerakan Islam Nigeria (IMN), sebuah kelompok yang mewakili minoritas Muslim Syiah di Nigeria mencoba memasuki kompleks Majelis Nasional sehingga memicu konfrontasi dengan polisi.
Anggota IMN melakukan aksi protes di luar Majelis Nasional, dan menyerukan pembebasan pemimpin mereka, Ibrahim el-Zakzaky yang telah ditahan sejak 2015. Dalam sebuah pernyataan, polisi mengatakan dua petugas terkena tembak dan terluka di bagian kaki. Sementara enam petugas lainnya terluka akibat pukulan tongkat dan lemparan batu.
Seorang pengunjuk rasa dan anggota IMN, Abdullahi Muhammad Musa mengatakan kepada Reuters, polisi melepaskan tembakan dan menewaskan dua pengunjuk rasa. Polisi mengatakan, mereka telah menangkap 40 pengunjuk rasa dalam insiden tersebut. Kedua belah pihak saling menyalahkan satu sama lain atas penembakan yang terjadi.
"Para petugas menggunakan kekuatan minimum untuk membubarkan para pemrotes yang tidak patuh," ujar polisi dalam sebuah pernyataan, dilansir Aljazirah, Rabu (10/7).
Selama lebih dari tiga dekade, kelompok Syiah terlibat dengan pasukan keamanan di Nigeria sambil berdemonstrasi menentang persepsi penganiayaan agama. Menurut kelompok hak asasi manusia, pasukan keamanan Nigeria telah menewaskan sekitar 400 anggota kelompok dalam menanggapi protes damai sebagian besar sejak 2015.
Pemimpin IMN, el-Zakzaky dipenjara oleh pemerintah militer berturut-turut. Pada 2015, operasi militer terkoordinasi untuk menangkapnya di markas IMN di kota Zaria, yang terletak 269 kilometer utara Abuja.
El-Zakzaky tetap di tahanan bersama istrinya sejak itu dan sejumlah perintah pengadilan yang memerintahkan pemerintah untuk membebaskan mereka telah diabaikan. Seorang juru bicara kepresidenan mengatakan kepada pers bahwa pemimpin IMN itu ditahan untuk keselamatannya sendiri.
Seorang pengunjuk rasa, Bafar mengatakan, kesehatan el-Zakzaky memburuk dan dia tidak menerima perawatan kesehatan yang memadai. Oleh karena itu, Bafar dan kelompok IMN bersikeras agar dapat memasuki Majelis Nasional untuk menyampaikan keluhan mereka kepada legislator federal.
"Petugas keamanan meminta kami untuk pergi dan mungkin mereka menolak untuk memberi tahu legislator, atau legislator menolak untuk menanggapi kami. Jadi, kami memutuskan untuk masuk, tapi mereka mulai menyemprotkan gas air mata dan menembakkan peluru secara sporadis," kata Bafar.