Kamis 11 Jul 2019 23:46 WIB

Sudah Dua Kali Jokowi Diminta Menegur Negara Pengirim Limbah B3 ke Indonesia

Pengiriman balik kontainer limbah tercemar dinilai efektif

Red:
abc news
abc news

Pegiat lingkungan untuk kedua kalinya mendesak Presiden Indonesia Joko Widodo menggunakan jalur diplomatik untuk menegur sejumlah negara yang membuang sampah plastik serta bahan berbahaya dan beracun (B3) ke Indonesia dengan modus impor kertas daur ulang.

Penyelundupan limbah dari LN:

  • Pegiat lingkugan hidup mendesak Presiden RI Joko Widodo tegur negara penyelundup sampah ke Indonesia
  • Juga, pencabutan izin impor limbah kertas daur ulang yang dimiliki perusahaan terkait
  • Pengiriman balik kontainer limbah tercemar dinilai efektif

 

Desakan ini kembali disuarakan sejumlah aktivis menyusul temuan terbaru 8 kontainer limbah kertas impor asal Australia yang tercemar plastik dan B3 di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa (9/7/2019).

Direktur Eksekutif Ecological Observations and Wetlands Conversation (Ecoton) Prigi Arisandi mengatakan temuan ini semakin menegaskan kondisi darurat sampah impor di Indonesia.

Presiden Jokowi diminta menegur langsung negara-negara maju yang kedapatan menyelundupkan limbah rumah tangga dan limbah beracun dan berbahaya (B3) mereka ke Indonesia.

Ecoton mencatat Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang paling banyak menyelundupkan sampah rumahtangga ke Indonesia.

Menurut Ecoton, setiap tahun negara adidaya itu bisa menyelundupkan hingga 150 ribu ton sampah rumah tangga - seperti botol plastik, kaleng, kemasan makanan, hingga bekas produk perawatan tubuh - ke Indonesia.

Sementara Australia, katanya, menempati urutan kelima, setelah Italia, Inggris dan Korea Selatan, disusul oleh Singapura serta Kanada.

"Ini harusnya selevel presiden yang ngomong langsung kalau Indonesia sedang darurat sampah plastik," ujar Prigi.

"Ini 'kan soal perdagangan antarnegara, jadi pemerintahnya ikut terlibat. Kalau di Amerika Serikat, Australia itu pemerintahnya kita sentuh dan Presiden Jokowi menegur itu, mereka dengan sendirinya akan menghentikan praktek ini. Tanpa hal itu maka masalah ini akan tetap dianggap biasa," tegasnya.

 

Bukan kali ini saja Presiden Jokowi diminta menghentikan arus kedatangan sampah impor. Sebelumnya Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) juga telah mendesak Jokowi untuk mengambil langkah radikal guna menyetop arus kedatangan sampah dari luar negeri.

Aliansi yang inisiasi oleh Ecoton bersama Walhi, BaliFokus/Nexus3, dan Indonesian Center for Environmentl Law (ICEL) ini antara lain mendesak Indonesia mengikuti langkah sejumlah negara di kawasan yang mulai membatasi perdagangan impor sampah plastik jika tidak ingin daratan Indonesia dipenuhi timbunan sampah dari luar negeri.

Malaysia misalnya pada Juli 2018 telah mencabut izin impor ratusan perusahaan dan menargetkan akan melarang impor sampah plastik pada 2021.

Sementara Thailand dan Vietnam juga mulai memperketat izin impor sampah dan berencana akan menghentikannya.

Hingga berita ini diturunkan tenaga ahli Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan belum bisa dihubungi untuk dimintai tanggapannya soal desakan sejumlah aktivis lingkungan terkait impor sampah ini.

Cabut izin impor sampah

 

Sementara itu, para aktivis juga mendesak Presiden RI mencabut izin impor sampah kertas yang ditengarai telah dimanfaatkan eksportir untuk memasukkan limbah non-kertas dalam ratusan kontainer kertas bekas yang mereka kirimkan ke Indonesia setiap bulannya.

"Masalah ini baru akan berkurang kalau eksportirnya itu dihentikan," kata Prigi.

"Tapi ini eksportirnya dibiarkan saja tanpa sanksi. Izin impor limbah kertas itu harus dicabut, dan yang mengatur itu di Kementerian Perdagangan. Makanya harus ada evaluasi mendasar di portfolio itu secara total. Ini hanya bisa dilakukan oleh Presiden," tambah Prigi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) no.31/2016, impor kertas dibolehkan untuk pembuatan kertas dan pulp. Keran impor dibuka karena pabrik kertas di Indonesia yang berjumlah sekitar 84-88 buah itu di dalam negeri mengeluh kekurangan bahan baku padahal kebutuhan kertas di dalam negeri sangat tinggi.

Celah perdagangan kertas daur ulang inilah yang dimanfaatkan untuk menyelipkan berbagai limbah plastik, limbah rumah tangga maupun limbah B3 di dalamnya.

Seperti terungkap pada peti kemas asal Brisbane Australia yang dibongkar petugas pabean di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Selasa (9/7/2019).

Meski di dokumennya tertulis kontainer itu berisi kertas bekas namun setelah diperiksa ternyata turut mengandung limbah botol plastik, kemasan oli bekas, popok bekas, alas kaki bekas dan barang elektronik bekas.

Ecoton mencatat limbah non-kertas pada peti kemas yang diklaim sebagai sampah kertas itu tidak tanggung-tanggung - bisa mencapai 40 persen.

Praktek ini terkonfirmasi dengan temuan selisih data ekspor impor sampah yang dikumpulkan oleh Bali Fokus yang juga anggota dari Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI).

Selama 2014-2018, Bali Fokus mencatat jumlah sampah impor yang dilaporkan negara eksportir selalu lebih tinggi ketimbang angka yang dilaporkan perusahaan importir.

Pada 2014, angkanya mencapai 145.593 ton dari catatan pengekspor. Sementara data sampah impor: 107.423 ton.

Perbedaan yang lebih mencolok terjadi tahun lalu. Negara eksportir mencatat 402.913 ton sampah diekspor ke Indonesia; sebaliknya, sampah yang tercatat masuk hanya 320.452 ton.

Menurun pasca re-ekspor

Menyusul ramainya sorotan media terhadap isu sampah impor, pemerintah melalui instansi terkait tampaknya mulai meningkatkan pengawasan di pelabuhan dan melakukan re-ekspor atau mengirim balik kontainer yang ketahuan bercampur dengan limbah non-kertas.

Pada pertengah Juni lalu misalnya, otoritas Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya melakukan re-ekspor lima kontiner asal AS.

Kepala Kantor Bea Cukai Tanjung Perak Basuki Suryanto mengatakan pihaknya juga akan memulangkan 8 kontainer limbah asal Australia dan puluhan kontainer dari negara lain.

"Re-ekspor masih dalam proses. Ada yang 38 kontainer dari AS dalam proses, dari Jerman 20 kontainer juga dalam proses. Inggris ada, tapi tidak dalam penanganan seperti ini," paparnya.

Basuki mengatakan aksi re-ekspor ini efektif dalam menekaan jumlh jumlah impor limbah kertas yang masuk dari ketiga negara tersebut.

Menurutnya, berdasarkan data Sucofindo, di seluruh indonesia setiap bulan ada 10 ribu sampai 12 ribu kontainer.

"Tapi di bulan Juni ini tinggal 600-700 kontainer impor waste paper," jelasnya.

Ikuti berita-berita menarik lainnya dari situs ABC Indonesia di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement