Jumat 12 Jul 2019 18:34 WIB

Ratna Sarumpaet Layak Dipenjarakan?

Aktivis antihoaks mengapresiasi vonis dua tahun penjara untuk Ratna Sarumpaet.

Red:
abc news
abc news

Aktivis dari Masyarakat Anti Hoaks mengapresiasi vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ratna Sarumpaet. Namun mereka menilai tidak semua penyebar hoax layak dipenjarakan.

Kasus hoax Ratna Sarumpaet:

  • Majelis hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis penjara 2 tahun karena Ratna terbukti menyebarkan kebohongan
  • Terungkap 1 Oktober 2018 setelah foto wajahnya yang lebam dan bengkak viral di medsos
  • Tanggal 4 Oktober 2018 Ratna mengaku berbohong setelah polisi membeberkan temuan penyelidikan mereka.

 

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Hakim Joni dalam putusannya yang dibacakan dalam sidang vonis pada Kamis (11/7/2019) menyatakan terdakwa Ratna Sarumpaet bersalah menyebarkan berita bohong (hoax) penganiayaan dan menjatuhkan sanksi pidana dua tahun penjara.

"Menyatakan terdakwa Ratna Sarumpaet terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menyiarkan pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran rakyat," ujar hakim ketua Joni di PN Jakarta Selatan.

Pegiat anti hoax atau kabar bohong menilai putusan majelis hakim dalam kasus hoax oleh Ratna Sarumpaet ini penting untuk memberi efek jera bagi masyarakat sekaligus mengingatkan warga untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi.

Seperti disampaikkan Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Septiaji Eko Nugroho.

"Masyarakat perlu menyadari bahwa pelaku pembuat informasi yang berpotensi menimbulkan keonaran bisa dilakukan oleh siapapun, dan ia bisa dijerat dengan pidana yang ancaman hukumannya tidak ringan." ujarnya kepada ABC di Jakarta.

"Kami berharap masyarakat bisa mengambil hikmah dari kejadian ini dengan lebih hati-hati dalam menerima informasi, bahkan ketika ia datang dari seorang tokoh publik sekalipun." tambahnya.

Mafindo juga sepakat tindak penyebaran berita bohong yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet tergolong kompleks karena kabar hoax yang diciptakannya sempat dituding dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh koleganya di kubu pasangan capres dan cawapres nomor urut 2 menjelang pemilu 2019 lalu.

Oleh karena itu Mafindo sepakat jika Ratna Sarumpaet juga dinyatakan telah melakukan keonaran oleh majelis hakim.

"Faktanya waktu kejadian itu memang sudah ada arahan, walau bukan dari beliau tapi dari orang-orang yang menerima informasi itu yang mengarah pada provokasi bahkan ada yang mengajak semacam demo dengan slogan yang berbasis dari informasi keliru tadi." kata Septiaji Eko Nugroho.

 

Tidak semua harus dipenjarakan

Meski demikian, Mafindo mengatakan tidak semua kasus hoax atau kabar bohong harus disikapi dengan pendekatan hukum represif seperti sanksi pidana penjara. Ia menilai aparat penegak hukum perlu menerapkan pendekatan yang komprehensif.

"Saat ini faktanya masyarakat kita masih banyak sekali yang belum bisa membedakan antara hoax dan yang benar. Ada memang sebagian yang ikut menyebarkan hoax tetapi sebenarnya mereka di satu sisi juga korban karena Mereka menganggap informasi palsu yang mereka sebarkan itu benar karena ketidaktahuan dalam menyaring informasi."

Mafindo menilai penegakan refresif saja hanya akan memicu masalah baru. Apalagi ditengah situasi masyarakat yang masih terbelah seperti sekarang ini akibat pesta demokrasi pemilu 2019 lalu. Alih-alih penegakan hukum yang dilakukan bisa diartikan sebagai bentuk pemerintah yang represif.

"Kita khawatirnya pemidanaan itu akan dilihat seolah pemerintah represif dan sifatnya hanya untuk membungkam warga. Sangat mungkin ada yang menafsirkan seperti itu dan ini akan menimbulkan lingkaran setan yang tidak akan selesai." katanya.

"Sehingga, kami percaya pendekatan multi dimensi itu yang paling pas di lokal Indonesia yaitu kombinasi antara edukasi literasi dan membangun kerukunan serta rasa percaya lagi diantara masyarakat.

 

Pandangan ini didukung oleh temuan survey terbaru oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menyimpulkan telah terjadi tren penurunan perbaikan demokrasi di tanah air, khususnya pasca kerusuhan 21-22 Mei 2019.

Dua indikatornya adalah munculnya ketakutan masyarakat terhadap penangkapan semena-mena oleh penegak hukum dan munculnya rasa takut masyarakat (43%) untuk berbicara politik.

Sementara itu sejumlah warga yang ditemui ABC memandang vonis yang dijatuhkan hakim sudah sangat sepadan dengan tindakan Ratna Sarumpaet menyebarkan hoax.

"Hoax yang dia buat itu kalau menurut saya udah tingkat dewa. Karena dia seperti orang tidak sadar dirinya siapa, masak cuma karena malu ngaku sama anak abis operasi, jadi ngarang cerita drama kayak gitu. Apalagi dikaitkan dengan situasi politik waktu itu ya, Jadi memang perlu dikasih pelajaran yang keras,"kata Lusi seorang ibu rumah tangga di Depok.

"Indonesia kan warganya suka ikut-ikutan, kalau dia {Ratna] gak dihukum, mereka ikut ngelakuin juga. Jadi vonisnya bisa jadi pelajaran jangan ikut sebarin hoax," kata Arifin di Pasar Minggu.

Ratna masih pikir-pikir

 

Vonis dua tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang meminta Ratna Sarumpaet dipidana penjara selama 6 tahun.

Meski demikian Ratna Sarumpaet mengaku masih menimbang-nimbang apakah akan menerima putusan itu atau meminta banding.

Usai persidangan kepada awak media, Ratna mengungkapkan keberatannya dituduh melakukan keonaran.

"Saya keberatan karena tiba-tiba muncul narasi baru dengan benih-benih keonaran dan membuat seolah-olah saya tetap bersalah atas frase keonaran itu. Menurut saya enggak. Saya masih pikir-pikir dulu." Katanya usai persidangan.

Ratna Sarumpaet ditetapkan sebagai tersangka penyebaran berita bohong alias hoax untuk membuat keonaran. Ratna dijerat dengan UU Peraturan Hukum Pidana dan UU ITE.

Ibu dari aktris Atiqah Hasiholan ini ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi menerima laporan soal hoax penganiayaan.

Ratna Sarumpaet menggelar jumpa pers dan mengakui kebohongannya setelah polisi membeberkan fakta-fakta penelusuran isu penganiayaan itu.

Di persidangan terungkap, pada 1 Oktober 2018, Ratna Sarumpaet mengirim foto wajahnya dalam kondisi lebam dan bengkak ke sejumlah koleganya di Badan Pemenangan Nasional (BPN) dan mengaku dirinya dipukuli oleh dua pria yang tidak dikenal di Bandara Husein Sastranegara Bandung.

Tidak lama, foto tersebut viral di media sosial dan langsung direspon serius oleh kalangan elit kubu 02. Bahkan Capres Prabowo Subianto langsung menggelar jumpa pers menanggapi peritiwa pemukulan yang dialami Ratna Sarumpaet.

Dalam pidatonya ketika itu Prabowo menyebut pemukulan yang dialami Ratna sebagai bentuk ancaman terhadap demokrasi Indonesia. Kejadian ini juga dituding dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan sikap politik Ratna Sarumpaet.

Di persidangan, Ratna mengaku ia mengarang cerita bohong telah dianiaya oleh dua pria tidak dikenal di bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat karena didorong rasa malu untuk mengakui kalau dirinya yang telah berumur melakukan tindakan operasi plastik.

Ikuti berita-berita menarik lainnya dari situs ABC Australia disini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement