Kasus hukum yang dialami Baiq Nuril Maknun kini sudah selesai di tahap pengadilan tingkat terakhir. Setelah Peninjauan Kembali (PK) yang dia ajukan ditolak oleh Mahkamah Agung RI pekan lalu, kini korban UU ITE ini berharap mendapat Amnesti dari presiden Jokowi.
Kasus Nuril bermula tahun 2012, ketika wanita berusia 41 tahun dari Lombok, NTB, secara diam-diam merekam panggilan telepon bernada mesum dari Kepala Sekolah SMA 7 Mataram bernama Muslim.
Nuril bekerja di bagian tata usaha sekolah tersebut.
Muslim yang keberatan dengan beredarnya rekaman tersebut kemudian mempolisikan Nuril dan kasusnya berlanjut ke pangadilan.
Dalam persidangan Terdakwa Nuril berdalih melakukan perekaman itu untuk mengumpulkan bukti dan melindungi dirinya dari pelecehan seksual yang dilakukan Muslim.
Nuril didakwa dengan UU ITE, aturan hukum yang sangat kontroversial di Indonesia.
Dalam rekaman video yang diakses ABC, Nuril sambil berlinang air mata memohon kepada Preisden Jokowi untuk memberikan amnesti padanya.
"Harapan saya sekarang hanyalah amnesti dari presiden," katanya.
Dalam pengadilan tingkat pertama, Nuril divonis bebas oleh pengadilan setempat pada tahun 2017. Tapi jaksa penuntut umum (JPU) tidak terima, dan akhirnya berhasil memenangkan kasasi di MA tahun lalu.
Nuril mengajukan PK atas kasasi MA itu, dan keputusan PK-nya itu keluar awal Juli 2019. Isinya, menolak permohonan Nuril dan sekaligus mengukuhkan vonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.
Itulah upaya hukum tingkat terakhir yang tersedia melalui jalur pengadilan.
Kampanye #SaveBu Nuril
Koalisi LSM #SaveBuNuril, berencana menemui Kantor Staf Presiden di Jakarta hari Jumat (12/7/2019).
"Kami sangat optimis Jokowi akan memberikan amnesti," ujar Joko Jumadi, pengacara Nuril, ketika dihubungi ABC.
"Sejak awal dia sangat pro-perempuan dan berkomitmen untuk membebaskannya bahkan sebelum ada vonis pengadilan," katanya.
Petisi yang menyerukan Preisden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada Nuril kini telah ditandatangani lebih dari 240.000 kali.
Direktur Eksekutif Lembaga Reformasi Peradilan Pidana, Erasmus Napitupulu, memulai petisi di situs web Change.org.
Kepada ABC Erasmus menyebut Menkum HAM Yasonna Laoly hari ini akan mengirimkan surat resmi kepada Presiden Jokowi terkait permintaan amnesti.
Menteri Yasonna mendampingi Nuril saat konferensi pers hari Senin, dan menmgisyaratkan amnesti presiden akan segera diberikan.
Menurut Yasonna, kasus ini menjadi perhatian serius presiden, dan dia berharap pihak DPR RI akan menyetujui pemberian amnesti tersebut.
Petisi pembebasan Nuril lainnya di situs web Change.org juga mendapatkan dukungan lebih dari 315.000 tandatangan.
"Banyak orang peduli Nuril sebagai korban dan menginginkan adanya keadilan," ujar Dhenok Pratiwi, manajer kampanye di Change.org Indonesia.
"Kami percaya Presiden Jokowi telah mendengar suara masyarakat ini," katanya.
Secara terpisah Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan cukup optimis bahwa Nuril akan mendapatkan amnesti karena jelas dia adalah korban pelecehan seksual.
"Tidak ada bukti apa pun yang menunjukkan bahwa Nuril telah melakukan kejahatan," kata Usman kepada ABC.
"Amnesti jadi pilihan tepat dibandingkan cara lain yang tersedia, karena kalau Grasi, syaratya Nuril harus mengaku bersalah terlebih dahulu," tambahnya.
"Sayalah yang jadi korban"
"Sebagai seorang wanita, saya harus dilindungi, tetapi kemudian sayalah yang menjadi korban," kata Nuril seperti dikutip harian The New York Times.
"Kita harus menyadarai bahwa ketika kita dilecehkan, tidak ada aman tempat untuk berlindung," katanya.
Laporan dari Komnas Perempuan tahun lalu menunjukkan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 259.150 pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017.
Juru bicara Komnas Veny Adriana kepada ABC menjelaskan pihaknya khawatir jika Nuril dipenjarakan, kaum perempuan akan semakin ragu untuk melaporkan tindak pelecehan yang dialaminya.
"Ada kasus lain yang mirip dengan Nuril di mana perempuan telah dikriminalisasi oleh undang-undang ITE," katanya.
Pengacara Nuril, Jumadi mengatakan "kasus ini akan berdampak sistemik pada perempuan di seluruh Indonesia".
"Jika ada impunitas bagi pelaku, perempuan korban kekerasan akan takut melaporkan kasus yang dialaminya karena takut akan dikriminalisasi seperti Nuril," jelasnya.
Sementara Erasmus mengatakan UU ITE yang berlaku sekarang harus diperbaiki untuk mencegah kasus serupa.
Sebuah survei BPS tahun 2017 menemukan bahwa 39,4 persen wanita tamatan SMA ke atas lebih banyak melaporkan adanya kekerasan fisik, emosional atau seksual dalam hidup mereka.
Menurut Usman Hamid, Indonesia sudah saatnya meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini
Simak berita lainnya dari ABC Indonesia.