Ahad 14 Jul 2019 11:23 WIB

Unjuk Rasa Hong Kong Meluas Hingga Wilayah Perbatasan China

Ribuan demonstran tersebut menentang kehadiran para pedagang China ke Hong Kong.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Polisi Hong Kong menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah demonstran di luar gedung parlemen, Rabu (12/6). Massa menentang kebijakan ekstradisi ke Cina.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Polisi Hong Kong menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah demonstran di luar gedung parlemen, Rabu (12/6). Massa menentang kebijakan ekstradisi ke Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pengunjuk rasa Hong Kong terlibat bentrok dengan polisi di sebuah kota di dekat perbatasan China daratan. Para demonstran di Sheung Shui, yang tidak jauh dari Kota Shenzhen, China melempar payung ke arah polisi.

Kemudian, polisi mengambil tindakan dengan menembakkan semprotan merica dan mengayunkan pentungan. Ribuan demonstran tersebut menentang kehadiran para pedagang China ke Hong Kong. Mereka akhirnya berhasil dibubarkan, namun pada Ahad (14/7) ini, para demonstran anti-ekstradisi merencanakan aksi lain di Kota Shin Tin yang merupakan wilayah perbatasan baru antara Hong Kong dan Cina.

Baca Juga

Protes terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU)) ekstradisi sebagian besar berpusat di distrin bisnis utama Hong Kong. Namun kini, para demonstran mulai mencari tempat lain untuk memperluas dukungan dengan mengambil isu-isu domestik yang lebih sempit.

Aksi protes di Sheung Shui menentang para pedagang China yang melakukan perjalanan ke Hong Kong untuk membeli sejumlah barang, dan dibawa kembali ke negara mereka untuk dijual. Para pengunjuk rasa berteriak dalam bahasa Mandarin agar para pedagang China tersebut pergi.

Pemerintah Hong Kong menyatakan, selama 18 bulan terakhir telah menangkap 126 pengunjung dari China daratan yang dicurigai melanggar ketentuan tinggal, dan terlibat dengan perdagangan paralel. Selain itu, pemerintah juga melarang sekitar lima ribu warga China daratan yang diduga terlibat dalam praktik tersebut.

Inggris menyerahkan Hong Kong kepada China pada 22 tahun lalu. Para pemimpin Komunis China menjanjikan Hong Kong sebagai kota dengan otonomi tingkat tinggi selama 50 tahun. Namun, banyak pihak menyatakan, China semakin memperketat cengkramannya dan menempatkan kebebasan Hong Kong dalam ancaman, salah satu langkahnya yakni melalui RUU ekstradisi.

Anggota Front Hak Asasi Manusia Sipil, Jimmy Sham mengatakan, kurangnya demokrasi penuh merupakan penyebab kerusuhan yang akhir-akhir ini terjadi di Hong Kong.

"Pemerintah, beberapa legislator di daerah pemilihan fungsional tidak dipilih oleh rakyat, jadi ada banyak tindakan yang meningkat di berbagai distrik untuk mencerminkan berbagai masalah sosial. Jika masalah politik tidak terpecahkan, masalah kesejahteraan sosial akan terus muncul tanpa akhir," ujar Sham.

Aksi protes RUU ekstradisi telah terjadi sejak bulan lalu. Eskalasi unjuk rasa tersebut meningkat pada 1 Juli ketika ratusan demonstran menyerbu gedung legislatif, sehingga menyebabkan bentrokan dengan aparat keamanan.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menangguhkan RUU tersebut tanpa batasan waktu. Bahkan, Lam juga telah meminta maaf karena tidak bisa menjaga Hong Kong tetap kondusif. Namun, upaya Lam tidak memuaskan para demonstran. Mereka meminta agar RUU ekstradisi dihapus, dan Lam mundur dari jabatannya.

RUU ekstradisi Hong Kong akan memungkinkan para pelaku tindak kejahatan dikirim ke China untuk diadili berdasarkan keputusan kontrol Partai Komunis. Para kritikus menilai, RUU tersebut sebagai ancaman terhadap aturan hukum di Hong Kong.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement