REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan siap menggelar perundingan dengan Amerika Serikat (AS) mencabut sanksi dan masuk kembali ke Joint Comprehensive of Plan Action (JCPOA). Hal ini Rouhani katakan dalam pidato yang disiarankan langsung di televisi.
Pemerintah Presiden AS Donald Trump mengatakan mereka membuka meja perundingan dengan Iran demi mendapatkan kesepakatan yang luas lagi dalam isu nuklir dan keamanan. Namun, Iran menolak melakukan negosiasi apa pun sampai mereka kembali bisa menjual minyak seperti sebelum AS keluar dari kesepakatan nuklir 2015.
"Kami selalu yakin dengan perundingan, jika mereka mencabut sanksi, mengakhiri tekanan ekonomi dan kembali ke kesepakatan, kami sudah siap menggelar perundingan dengan Amerika hari ini, sekarang dan di mana pun," kata Rouhani, Senin (15/7).
Ketegangan antara Washington dan Teheran terus meningkat. Ketegangan memuncak ketika Trump membatalkan serangan udara ke Iran yang dimaksudkan untuk membalas penembakan drone milik militer AS.
Prancis, Inggris dan Jerman yang tergabung dalam JCPOA meminta semua pihak melakukan dialog. Mereka disibukkan dengan ketegangan yang terjadi di kawasan Teluk dan resiko runtuhnya JCPOA.
"Kami sudah tiba waktunya untuk bertindak secara bertanggungjawab dan untuk mencari cara menghentikan ketegangan dan melanjutkan dialog," kata mereka dalam pernyataan gabungan yang dirilis kantor kepresidenan Prancis.
Walaupun mengajak pemimpin-pemimpin Iran untuk berunding, pada Rabu (10/7) pekan lalu Trump mengatakan sanksi Iran akan meningkat secara 'substansial'. Menanggapi sanksi AS yang menargetkan sumber pendapatan luar negeri dari minyak mentah Mei lalu Iran mengatakan akan mengurangai komitmen mereka terhadap JCPOA. Hal tersebut memicu negara-negara Eropa meresponnya.
Negara-negara Eropa ingin JCPOA tetap dipatuhi sepenuhnya. Iran telah meningkatkan pemurnian uranium yang diperkaya di atas batasan yang diizinkan JCPOA yakni 3,67 persen.
"Risikonya sedemikian rupa sehingga semua pemangku kepentingan, untuk berhenti dan mempertimbangkan semua konsekuensi yang mungkin terjadi atas tindakan mereka," kata Prancis, Inggris dan Jerman.