REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Prancis, Jerman, dan Inggris cemas atas meningkatnya ketegangan di Teluk Persia di tengah aktivitas pengayaan uranium oleh Iran. Ketiga negara itu khawatir hal tersebut semakin menempatkan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) dalam risiko.
Menurut Inggris, Jerman, dan Prancis, keputusan Amerika Serikat (AS) menerapkan sanksi baru terhadap Iran, kemudian langkah Teheran menangguhkan sebagian keterikatannya dalam JCPOA berpotensi menyebabkan kesepakatan itu bubar. “Risikonya sedemikian rupa sehingga semua pemangku kepentingan harus berhenti sejenak dan mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan mereka,” kata ketiga negara tersebut dalam sebuah pernyataan yang dirilis kantor kepresidenan Prancis pada Ahad (14/7).
Mereka menyerukan pihak-pihak yang terlibat dalam ketegangan menahan diri. “Kami yakin bahwa saatnya telah tiba untuk bertindak secara bertanggung jawab dan mencari cara untuk menghentikan eskalasi ketegangan dan melanjutkan dialog,” ujarnya.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian telah menyuarakan kecemasannya perihal potensi konflik antara Iran dan AS. Menurutnya, kedua negara sama-sama telah mengambil pendekatan buruk dalam menyelesaikan permasalahan kesepakatan nuklir.
“Situasinya serius. Meningkatnya ketegangan dapat menyebabkan petaka,” kata Le Drian saat ditanya tentang risiko perang Timur Tengah yang lebih luas pada Ahad.
Dia mengaku menyayangkan keputusan Iran melakukan pengayaan uranium hingga melampaui ketentuan yang diatur dalam JCPOA. “Fakta bahwa Iran telah memutuskan menarik diri dari beberapa keterlibatannya dalam proliferasi nuklir adalah kekhawatiran tambahan. Ini adalah keputusan buruk, reaksi buruk terhadap keputusan buruk lainnya, yakni penarikan AS dari kesepakatan nuklir setahun yang lalu,” ujarnya.
Kendati demikian, dia menilai saat ini kedua belah pihak masih menunjukkan bahwa mereka tak menginginkan peperangan. “Saya perhatikan bahwa semua orang mengatakan mereka tidak ingin pergi ke puncak eskalasi, baik Presiden (Iran Hassan) Rouhani maupun Presiden (AS Donald) Trump atau para pemimpin Teluk lainnya. Tapi di sini ada unsur-unsur eskalasi yang mengkhawatirkan,” ucap Le Drian.
“Iran tak mendapat keuntungan dengan menarik diri dari keterlibatannya (dalam JCPOA). AS juga tidak memperoleh apa-apa jika Iran mendapat senjata nuklir. Jadi penting bahwa langkah-langkah deeskalasi diambil untuk mengurangi ketegangan,” kata Le Drian.
Iran telah melakukan pengayaan uranium melampaui batas 3,67 persen seperti telah diatur dalam JCPOA. Juru bicara Badan Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi mengatakan, tingkat pengayaan uranium negaranya saat ini telah mencapai di atas 4,5 persen.
Iran masih menyatakan bahwa pengayaan uranium itu dilakukan hanya untuk tujuan damai. Di sisi lain, level pengayaan yang saat ini telah dicapai masih jauh dari cukup untuk memproduksi senjata nuklir.
Kendati demikian, Teheran menegaskan siap menempuh langkah lebin jauh. Pekan lalu, Trump memperingatkan Iran agar berhati-hati. “Iran sebaiknya Anda berhati-hati karena Anda memperkaya (uranium) karena satu alasan dan saya tidak akan memberitahu Anda apa alasannya, tapi itu tidak baik,” ujarnya.
Trump tak menjelaskan langkah apa yang kemungkinan diambil AS merespons pengayaan uranium oleh Iran yang melampaui ketentuan JCPOA. Dia hanya menegaskan bahwa Teheran tidak akan pernah memiliki senjata nuklir.