Senin 15 Jul 2019 15:14 WIB

Pengadilan Israel Cabut Larangan Warga Arab Kunjungi Taman

Larangan warga Arab kunjungi Taman di Israel dinilai rasialis.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Taman Bahai, Mount Carmel, Haifa, Israel
Foto: [ist]
Taman Bahai, Mount Carmel, Haifa, Israel

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pengadilan Israel memerintahkan Pemerintah Kota Afula di Israel untuk mencabut peraturan tentang larangan warga non-residen berkunjung ke taman di sana. Larangan itu dinilai rasialis karena diduga bertujuan agar warga Arab tak dapat mengakses fasilitas publik tersebut.

Hakim Danny Sarfati yang memimpin persidangan di Pengadilan Distrik Nazareth pada Ahad (14/7), menyatakan bahwa taman di Afula adalah milik umum. Dengan demikian, siapa pun berhak berkunjung ke sana.

Baca Juga

Afula merupakan kota berpenduduk 50 ribu orang dengan mayoritas Yahudi. Sebulan lalu, ia memberlakukan larangan bagi warga non-residen untuk berkunjung ke taman seluas 10 hektare di sana. Penduduk desa Arab terdekat yang sering mengunjungi taman itu pun tak lagi bisa menikmati fasilitas tersebut.

“(Larangan) ini benar-benar untuk mengecualikan warga Palestina untuk memasuki taman,” kata Fadly Khoury, pengacara yang membawa kebijakan larangan itu ke pengadilan. Dalam prosesnya, Khoury didampingi Adalah, kelompok hak asasi Arab.

Namun, Avi Goldhammer, pengacara yang mewakili Kota Afula membantah bahwa kebijakan larangan itu memiliki bias rasial. Dia mengklaim kebijakan tersebut semata-mata bertujuan untuk mengurangi kepadatan selama bulan-bulan musim panas dan menekan biaya perawatan.

“Kami tidak berdebat dengan hukum. Jika hukum mengizinkan semua orang masuk ke dalam taman ini, oke,” kata Goldhammer seusai putusan pengadilan.

Warga Arab-Palestina di Israel memang kerap mengalami diskriminasi. Mereka diperlakukan seperti warga negara kelas dua meskipun populasinya mencapai 21 persen. Pada Juli tahun lalu, Knesset (parlemen Israel) mengesahkan Undang-Undang (UU) Negara Bangsa. Dengan UU itu, Israel mendeklarasikan dirinya sebagai tanah air Yahudi. 

Undang-undang itu menuai kecaman karena dianggap rasialis dan mempromosikan kebijakan apartheid, yakni menempatkan warga Yahudi satu tingkat di atas warga Arab-Palestina. Undang-undang yang memiliki kedudukan mirip konstitusi itu juga dikhawatirkan akan memperluas aneksasi Israel atas tanah Palestina di wilayah pendudukan, yakni di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Sebab, UU itu menyebut perluasan permukiman Yahudi merupakan sebuah nilai nasional. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement