Dengan Produk Domestik Bruto yang menurun ke 6,2 persen dari sebesar 6.4 persen pada tiga bulan pertama tahun ini, perekonomian Cina dinilai telah kehilangan momentumnya pada kuartal kedua. Angka ini dirilis oleh Biro Statistik Nasional Cina (NBS), Senin (15/07).
Pertumbuhan ekonomi yang tercatat paling lambat setidaknya sejak 1992 ini mencerminkan meningkatnya tekanan terhadap kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Hal ini diakibatkan oleh berlarutnya perang dagang antara Cina-AS dan menurunnya permintaan barang-barang asal Cina dari seluruh dunia.
"Kondisi ekonomi baik di dalam maupun luar negeri masih parah, pertumbuhan ekonomi global melambat, ketidakstabilan dan ketidakpastian eksternal juga meningkat," ujar juru bicara NBS, Mao Shengyong.
Namun angka 6,2 ini masih berada dalam kisaran target Beijing pada 6,0 hingga 6,5 persen untuk 2019. Pada 2018 pertumbuhan ekonomi Cina tercatat pada 6,6 persen.
Gagalnya upaya perbaikan
Langkah yang diambil pemerintah Cina guna mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti pemotongan pajak besar-besaran senilai hampir 2 triliun yuan (€ 258 miliar), sejauh ini juga gagal mengimbangi perlambatan.
Pada hari Senin, bank sentral Cina juga merampungkan pemotongan rasio cadangan bank untuk bank-bank berukuran kecil hingga menengah.
Namun kemunduran tetap terjadi meski pada bulan Juni sempat terdapat beberapa titik terang dalam perekonomian, seperti kenaikan output industri sebesar 6,3 persen dari tahun sebelumnya, dan penjualan ritel melonjak 9,8 persen, tercepat sejak Maret 2018.
Konflik perdagangan antara Cina dan AS telah memicu kekhawatiran akan terjadinya resesi global.
Dua raksasa ekonomi dunia ini telah memberlakukan hambatan tarif perdagangan dengan nilai mencapai 360 miliar dolar AS terhadap barang-barang yang berasal dari dua negara ini. Pembicaraan di tingkat tinggi sejauh ini belum berhasil menjembatani perbedaan antara kedua belah pihak.
ae/vlz (Reuters, AFP)