REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Pada 16 Juli 1990, Filipina diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,7 Skala Ritcher (SR). Lebih dari 1.000 orang meninggal dunia akibat gempa melanda Pulau Luzon, di mana Kota Baguio mendapat dampak terbesar.
Gempa terjadi pada pukul 16.26 yang berpusat di utara Manila, provinsi Nueva Ecija. Laporan menunjukkan, goncangan berlangsung selama hampir satu menit penuh.
History mencatat, gempa membuat bangunan yang runtuh sehingga menjadi penyebab utama kerusakan dan kematian. Masyarakat berhamburan keluar gedung bertingkat untuk tindakan pencegahan keamanan sore itu, meskipun banyak orang terluka dan beberapa bahkan tewas.
Di Christian College, sebuah bangunan enam lantai runtuh menjebak sekitar 250 siswa dan guru di dalamnya. Upaya penyelamatan berhasil menyelamatkan banyak orang, tetapi beberapa korban yang tidak bertahan akhirnya meninggal karena dehidrasi tidak mendapat pertolongan keluar tepat waktu.
Semua jenis bangunan, termasuk beberapa hotel resor di Baguio, yang dikenal sebagai Ibu kota Musim Panas Filipina, mengalami kerusakan luar biasa. Sebagian besar dari 100 ribu penduduk kota tidur di luar rumah malam itu dan selama minggu berikutnya. Mereka takut untuk kembali ke rumah di tengah gempa susulan yang sering terjadi.
Selama berhari-hari, pekerja menarik mayat dari bangunan yang hancur di Baguio. Diperkirakan 1.000 mayat ditemukan. Setidaknya 1.000 orang lainnya menderita luka serius.
Upaya penyelamatan terhambat karena tiga jalan utama ke kota terhalang oleh tanah longsor. Ratusan pengendara mobil terdampar di jalan. Di luar Baguio, kebakaran pabrik kimia juga menyebabkan kerusakan parah. Tambang emas dan tembaga Tuba di daerah itu kehilangan 30 pekerja ketika sebuah tambang ambruk.
Wilayah Baguio berada di tujuh garis patahan. Kini wilayah itu tercatat sebagai salah satu kota paling rawan risiko gempa di Asia. Selain risiko gempa bumi, curah hujan tahunan yang tinggi di daerah itu meningkatkan kemungkinan tanah longsor yang mematikan.
Personel militer Amerika yang ditempatkan di kepulauan Filipina kala itu mengambil bagian dalam upaya bantuan. Daerah itu mengalami bencana kurang dari setahun kemudian ketika Gunung Pinatubo meletus. Beberapa ahli geologi percaya kedua peristiwa itu terhubung.