Selasa 16 Jul 2019 10:35 WIB

Dua Universitas Australia Diduga Terkait Pelanggaran HAM di Cina

Aplikasi digunakan tentara untuk melacak dan menahan Muslim Uighur di Xinjiang.

Red:
abc news
abc news

Dua universitas di Australia kini meninjau kembali prosedur penelitian mereka setelah munculnya dugaan soal teknologi yang digunakan melakukan pelanggaran HAM berat oleh Pemerintah Cina di Provinsi Xinjiang. Program Four Corners ABC melaporkan, kedua universita itu adalah Universitas Teknologi Sydney (UTS) serta Curtin University di Perth.

Pihak UTS menyatakan kini melakukan peninjauan internal mengenai kemitraannya dengan CETC, perusahaan teknologi militer milik Pemerintah Cina. Kemitraan senilai 10 juta dolar ini melibatkan pengembangan aplikasi yang digunakan tentara Cina dalam melacak dan menahan warga Muslim Uighur di Xinjiang.

Pada 2017, UTS menandatangani kesepakatan yang menguntungkan dengan CETC untuk mendirikan pusat penelitian baru, yang mencakup pengembangan kecerdasan buatan (AI) dan pengintaian.

Pada tahun yang sama, Partai Komunis Cina memulai kampanye penangkapan, penahanan paksa serta indoktrinasi penduduk Uighur dan kelompok etnis minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.

Agam Islam secara efektif dilarang di provinsi ini, dengan penduduk setempat secara rutin dicap sebagai ekstremis lalu dipenjarakan karena menjalankan ajaran agama mereka.

Digunakan menangkapi orang Uighur

Human Rights Watch, yang mengungkapkan keberadaan aplikasi dan keterlibatan CETC dalam pengembangannya, menyambut baik langkah UTS melakukan tinjauan internal.

"Saya rasa tidak ada universitas di Australia yang mau bekerjasama dengan perusahaan Cina, yang pada dasarnya membangun alat-alat penindasan di Cina," kata Elaine Pearson, direktur Human Rights Watch Australia.

"Ini sebuah aplikasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi dasar tentang orang Uighur dan Muslim lainnya. Kita tahu orang dikirim ke kamp pendidikan ulang berdasarkan informasi dari aplikasi ini," katanya.

Namun UTS percaya bahwa tidak ada hubungan antara penelitian yang dilakukan di salah satu pusat penelitiannya dengan aplikasi CETC yang digunakan di Xinjiang.

Dalam bantahannya kepada Program Four Corners, UTS menyatakan melakukan peninjauan internal pada April lalu setelah adanya "keprihatinan mendalam" terkait tuduhan pelanggaran HAM di Xinjiang.

"UTS pada tahap ini tak berencana melakukan kerjasama baru dengan CETC dan akan meninjau perjanjian kontrak saat ini," kata UTS dalam sebuah pernyataan.

UTS menambahkan tinjauan internal akan diselesaikan "dalam beberapa minggu".

Putus hubungan dengan PKC

Sebagai bagian dari kemitraan itu, perusahaan teknologi militer milik China memiliki semua kekayaan intelektual yang berasal dari kolaborasi penelitian dengan UTS.

Associate Professor James Leibold dari Universitas La Trobe, salah satu pakar tentang etnis minoritas di Cina, mendesak semua universitas di Australia segera mengakhiri hubungan apa pun dengan Partai Komunis Cina (PKC).

"Intinya dengan melakukan itu, kita terlibat dalam pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang dan di Cina pada umumnya," kata Prof Leibold.

"Saya pikir UTS dan universitas lain di Australia yang memiliki kaitan dengan perusahaan negara terutama di sektor militer atau keamanan, perlu mengakhiri kontrak itu, dan menarik diri dari kolaborasi itu," katanya.

Akademisi Curtin University

Sementara itu, Curtin University di Perth menyatakan sedang meninjau prosedur persetujuan penelitiannya setelah adanya laporan Four Corners.

Laporan ini mengungkapkan bahwa seorang profesor di universitas tersebut terlibat dalam pengembangan metode untuk mengidentifikasi etnis minoritas di China dengan menggunakan teknologi AI.

Dr Darren Byler, ahli tentang Uighur dan Cina di Universitas Washington, menjelaskan bahwa sebagai bagian dari tindakan kerasnya, tentara Cina telah menggunakan teknologi pemindai wajah terbaru untuk melacak orang Uighur, tidak hanya di Xinjiang, tetapi di seluruh Cina.

"Itu hal yang cukup mereka banggakan untuk bisa mendeteksi, perbedaan ras atau perbedaan etnis, berdasarkan penampakan orang," katanya.

Associate Profesor Liu Wan-Quan dari Curtin diketahui melakukan penelitian yang didanai Pemerintah Cina yang meneliti wajah-wajah orang Uighur dan bagaimana fitur mereka dapat ditangkap dengan lebih baik dalam teknologi pemindaian wajah.

Penelitian Prof Liu Wan-Quan ini dinilai oleh pakar lainnya sebagai "profil rasial" dan telah memperingatkan bahwa setelah dibuat, dia tidak dapat lagi mengendalikan bagaimana teknologi itu digunakan Pemerintah Cina.

"Mereka akan berdalih, ini bidang keahlian saya. Ternyata saya bisa menggunakannya untuk mengidentifikasi orang Uighur sebagai bukan orang (suku) Han. Apa yang dilakukan negara dengan itu bukan tanggung jawabku," kata Prof Leibold.

"Saya pikir memalukan dan mengerikan. Saya kira peneliti Australia seharusnya tidak terlibat. Itu tak diragukan lagi melanggar etika kemanusiaan," katanya.

Curtin University berdalih Prof Liu Wan-Quan hanya fokus pada penyediaan "masukan teknis untuk tim peneliti Cina".

Curtin, katanya, "secara tegas mengutuk penggunaan kecerdasan buatan, termasuk teknologi pemindaian wajah, dalam segala bentuk profil etnis yang berdampak negatif dan atau menganiaya orang atau kelompok mana pun."

Elaine Pearson dari Human Rights Watch menyerukan agar Curtin University dan universitas Australia lainnya meninjau kembali penelitian mereka dengan lembaga Pemerintah Cina, khususnya di bidang intelijen dan pengintaian.

"Bukan rahasia lagi jika Cina menggunakan alat pengenal wajah untuk membuat profil ras Uighur dan kita tahu apa yang terjadi kemudian sebagai konsekuensi dari profil rasial itu," katanya.

Simak berita selengkapnya dalam bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement