REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif meyakini Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tidak menginginkan peperangan dengan negaranya. Komentar tersebut berkaitan dengan perselisihan kedua negara perihal kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
“Saya tidak percaya Presiden Trump menginginkan perang. Tapi saya percaya orang-orang di sekitarnya tidak keberatan,” kata Zarif saat diwawancara dalam acara NBC Nightly News Lester Holt, Senin (15/7), dikutip laman Mehr News Agency.
Dia berpendapat, kalau AS menghendaki peperangan, hal itu akan berhasil. “Karena pada akhirnya saya pikir kehati-hatian akan menang. Orang-orang tahu Iran adalah negara besar dan kita tidak akan menganggap enteng serangan militer,” ucapnya.
Pada kesempatan itu, Zarif pun sempat menerangkan mengapa negaranya mulai menangguhkan satu per satu keterikatannya dalam JCPOA. Menurut dia, Iran telah menunggu selama sekitar setahun sebelum melakukan hal tersebut. Setahun lalu, AS secara sepihak mundur dari JCPOA dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
Kendati demikian, Iran masih bersedia melakukan perundingan jika AS bersedia mencabut sanksinya. “Begitu sanksi itu dicabut, maka ruang negosiasi terbuka lebar,” ucapnya.
Zarif tak mengungkap penawaran seperti apa yang kemungkinan bisa diterima dari AS. “Saya pikir dalam negosiasi apa pun, Anda perlu menemukan situasi sama-sama menguntungkan. Jika tidak, Anda akan berakhir dengan situasi saling merugi,” kata dia.
Iran diketahui telah melakukan pengayaan uranium dengan melampaui batas yang ditetapkan JCPOA, yakni sebesar 3,67 persen. Iran mengklaim level pengayaan uraniumnya kini telah mencapai lebih dari 4,5 persen.
Iran masih menyatakan pengayaan uranium itu dilakukan hanya untuk tujuan damai. Di sisi lain, level pengayaan yang saat ini telah dicapai masih jauh dari cukup untuk memproduksi senjata nuklir. Namun, ia tak ragu untuk mengambil langkah lebih lanjut jika Eropa dan AS tak mengubah sikap dan pendekatannya.