REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan Indonesia telah menempuh pendekatan bilateral dengan Pemerintah China terkait isu Xinjiang. Pernyataannya berkaitan dengan adanya dukungan sejumlah negara, termasuk negara Arab, terhadap kebijakan Beijing di provinsi tersebut.
“Sepengetahuan saya Indonesia telah mengedepankan pendekatan yang bersifat bilateral dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) atas masalah ini,” kata Teuku saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (16/7).
Kendati demikian, dia tak dapat mengungkap perihal detail pendekatan yang dilakukan Indonesia. Teuku pun mengaku belum mengetahui bagaimana respons China atas langkah tersebut. “Persisnya saya tidak tahu karena penyampaiannya oleh pejabat yang menangani hubungan Indonesia dengan RRT,” ujarnya.
Sebanyak 37 negara diketahui telah mengirim surat ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB. Dalam surat itu mereka menyatakan mendukung kebijakan Pemerintah China di Provinsi Xinjiang.
“Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, China telah melakukan serangkaian tindakan antiterorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan,” kata surat tersebut.
Dalam surat itu pun dikatakan keamanan telah kembali ke Xinjiang. HAM orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi.
Surat tersebut turut menjelaskan tidak ada serangan teror yang terjadi di Xinjiang selama tiga tahun terakhir. Masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.
Negara-negara yang menandatangani surat itu antara lain Rusia, Korea Utara (Korut), Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Arab Saudi, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sejumlah negara Afrika. Pemerintah China telah menghadapi tekanan internasional karena dituding menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang.
Tak hanya menahan, Beijing disebut melakukan indoktrinasi terhadap mereka agar mengultuskan Presiden Cina Xi Jinping dan Partai Komunis China. Pemerintah China membantah tuduhan tersebut.
Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. China mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang. Beijing pun mengklaim para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan vokasi tersebut.