REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Ratusan pengungsi Palestina di Lebanon melakukan aksi protes di Beirut. Mereka mengecam tindakan pemerintah yang mempekerjakan pekerja asing tanpa izin. Sedangkan, para pengungsi Palestina harus mendapatkan izin kerja untuk mendapatkan pekerjaaan.
Para demonstran menuntut Kementerian Tenaga Kerja Lebanon agar membatalkan aturan yang mengharuskan pekerja Palestina mendapatkan izin kerja. Sebab, hal ini tidak adil dengan kebijakan pemerintah terhadap pekerja asing, yang bisa mendapatkan pekerjaan tanpa mengurus izin kerja terlebih dahulu.
Bulan lalu, Kementerian Tenaga Kerja Lebanon mengumumkan tenggat waktu selama satu bulan bagi perusahaan untuk mendapatkan izin kerja. Setelah batas waktu yang berakhir pekan lalu, kementerian mulai menutup bisnis yang tidak mematuhi aturan.
Pada 2010, warga Palestina di Lebanon dibebaskan dari pembayaran izin kerja, tetapi pemilik bisnis Palestina masih diharuskan mendaftar dan membayar 25 peren dari biaya standar.
Dalam akun Twitternya, Menteri Tenaga Kerja Lebanon Camille Abousleiman mengatakan, aturan tersebut tidak menargetkan warga Palestina secara khusus.
Menurutnya, aturan itu sangat fleksibel. Namun para pengunjuk rasa mengatakan, langkah kementerian itu akan menyulitkan bagi pekerja Palestina. Mereka akan mendapatkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif di pasar tenaga kerja.
Peneliti sosial Palestina, Rana Makki, mengatakan warga Palestina yang berada di Lebanon bingung dengan keputusan menteri yang berbeda dan bertentangan.
Apalagi, keputusan tersebut berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Menurut Makki, pada akhirnya pekerja dan pemilik bisnis Palestina menghadapi lingkaran setan undang-undang perburuhan Lebanon yang pada dasarnya bersifat rasisme.
"Calon pengusaha akhirnya melewati banyak biaya yang diminta oleh negara atas nama karyawan, ini yang membuat pemilik bisnis tidak dapat mempekerjakan pekerja Palestina atau Suriah yang memiliki izin kerja, atau memaksa mereka bekerja lebih sedikit jika mereka melakukannya," ujar Makki dilansir Aljazirah, Rabu (17/7).
Lebanon menampung sekitar 1,5 juta warga Suriah. Sementara, terdapat hampir 475 ribu pengungsi Palestina yang terdaftar di badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libanon, di mana sekitar 270 ribu orang tinggal di dalam negara tersebut.
Ekonom Lebanon, Kamal Hamdan, mengatakan sistem hukum yang mengatur pasar tenaga kerja di Libanon tidak adil terhadap Palestina. Menurutnya, Palestina harus memiliki hak buruh secara de facto, karena mereka telah berada di negara itu selama lebih dari 70 tahun.
Diketahui, ribuan warga Palestina terpaksa mengungsi ke Libanon setelah pembentukan Israel pada 1948. Hamdan, yang memimpin Lembaga Konsultasi dan Penelitian di Libanon mengatakan, langkah pemerintah dimaksudkan untuk mengekang pengusaha Libanon untuk merekrut warga Palestina dan Suriah, yang bekerja tanpa asuransi kesehatan dan tunjangan lainnya.
Hukum Lebanon melarang pengungsi Palestina untuk bekerja di sekitar 70 profesi, seperti kedokteran, hukum dan teknik, atau bergabung dengan asosiasi profesional apa pun. Aktivis Palestina dan Lebanon menganggap undang-undang ini diskriminatif.
Seorang wartawan yang bekerja untuk surat kabar Al-Akhbar di Beirut, Ilda Ghoussain mengatakan, sepertiga dari ekonomi Lebanon yang tidak terorganisir adalah bagian dari masalah. Ghoussain mengatakan langkah pemerintah diarahkan pada pekerja Suriah yang berada dalam jumlah lebih besar.
"Sebelum kehadiran Suriah, pekerja Palestina dapat bekerja di pekerjaan bergaji rendah seperti konstruksi, restoran, atau buruh harian dengan mengandalkan status pengungsi mereka dan tanpa memiliki izin kerja," kata Ghoussain.