Jumat 19 Jul 2019 13:32 WIB

AS Diminta Bekukan Aset Petinggi Militer Myanmar

Sanksi AS larangan bepergian untuk pemimpin militer Myanmar dinilai belum cukup kuat.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Pelapor khusus PBB Yanghee Lee mengatakan sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) terhadap para pemimpin militer Myanmar atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap Rohingya belum cukup. Menurutnya, harus ada sanksi tambahan terhadap mereka. 

Lee menilai, sanksi larangan bepergian ke AS masih belum cukup kuat. "Mereka tidak akan pernah bepergian ke AS. Mari bersikap realistis," katanya kepada awak media di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Kamis (18/7). 

Baca Juga

Dia menyerukan agar AS membekukan aset para petinggi militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap Rohingya. Menurutnya, sanksi demikian lebih memiliki bobot. 

Kendati demikian, AS tetap membela keputusannya menjatuhkan larangan bepergian kepada petinggi militer Myanmar. Washington menyerukan agar negara lain melakukan hal serupa. 

"Kami tetap fokus pada tindakan yang akan mengubah perilaku militer Burma (Myanmar), meminta pertanggung jawaban atas kekejaman dan pelanggaran lainnya, memberikan keadilan kepada para korban, serta mendukung demokrasi dan kemakmuran di Burma," kata seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri AS.

AS telah melarang Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, tiga komandan senior beserta keluarga mereka, memasuki negaranya. Sanksi tersebut mulai diberlakukan pekan ini. 

Sementara itu, jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Fatou Bensouda telah meminta izin kepada hakim ICC untuk membuka penyeledikan dugaan kejahatan terhadap Rohingya. "Hasil dari permintaan ini masih tertunda dan ada di hadapan pengadilan," kata wakil jaksa penuntut ICC James Stewart saat menggelar konferensi pers di Dhaka, Bangladesh. 

Kehadiran Stewart dan anggota delegasi ICC lainnya di Bangladesh adalah untuk menjelaskan proses peradilan kepada pemerintahan di sana. Namun, mereka tak akan mencari atau mengumpulkan bukti perihal dugaan kejahatan terhadap Rohingya.

Pada Agustus 2018, Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di ICC.

Dalam laporan tersebut, Dewan Keamanan PBB pun diserukan memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar, menjatuhkan sanksi kepada individu-individu yang bertanggung jawab, dan membentuk pengadilan ad hoc untuk menyeret mereka ke ICC.

Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu orang Rohingya melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). 

Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement