REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Gelombang aksi protes terhadap penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi kembali digelar di Hong Kong, Ahad (21/7). Di siang hari yang terik, ribuan orang telah berkumpul untuk melakukan demonstrasi dan long march dari Victoria Park ke Wan Chai.
Aparat kepolisian tampak berjaga ketat di sekitar lokasi aksi protes, termasuk di kompleks pemerintahan. Sementara beberapa ruas jalan utama telah ditutup. Pada Ahad pagi, ratusan orang telah memulai aksi protes di dekat kompleks pemerintahan, di pusat kota.
Sebelumnya, pada Sabtu (20/7) lalu, polisi menemukan dua kilogram bahan peledak dengan daya ledak yang kuat, triacetone triperoxide atau TATP, bom bensin, asam, pisau dan batang logam. Selain itu, polisi juga menemukan spanduk yang bertuliskan anti-ekstradisi di tempat tersebut.
Sementara pada Jumat (19/7) malam, polisi menyita gudang bahan peledak dan senjata di sebuah bangunan industri di distrik New Territories, Tsuen Wan. Tiga orang ditangkap sehubungan dengan penyitaan tersebut. Polisi menggambarkan, penyitaan ini merupakan yang terbesar di Hong Kong. Namun, polisi tidak menyebutkan apakah penyitaan bahan peledak dan senjata itu ada kaitannya dengan aksi protes.
Akhir pekan lalu, unjuk rasa yang awalnya damai berubah menjadi bentrokan antara polisi dan aktivis. Bentrokan ini mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka-luka dan lebih dari 40 orang ditangkap.
Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam telah meminta maaf atas kekacauan yang disebabkan oleh RUU ekstradisi. Lam telah menangguhkan RUU tersebut tanpa batas waktu dan menyatakan bahwa RUU itu telah 'mati'. Namun, upaya Lam tidak membuat para pengunjuk rasa dan aktivis merasa puas. Mereka tetap menginginkan agar RUU ekstradisi dicabut secara penuh, dan Lam mundur dari jabatannya.
Para aktivis telah bersumpah untuk melanjutkan aksi protes sampai Lam memenuhi tuntutan utama mereka, termasuk penarikan permanen RUU tersebut, dan reformasi demokrasi untuk mengadakan pemilihan langsung. Aksi protes dan long march pada Ahad rencananya akan berakhir di pengadilan tinggi untuk menyampaikan tuntutan mengenai penyelidikan kekerasan yang dilakukan oleh polisi kepada para pengunjuk rasa.
Wakil Ketua Front Hak Asasi Manusia Sipil (CHRF) Bonnie Leung mengatakan, aksi protes kali ini dapat membawa perubahan. Dia berharap, aksi kali ini dapat diikuti oleh peserta yang lebih banyak dari aksi-aksi sebelumnya.
"Karena pemerintah Carrie Lam tidak menunjukkan tindakan atau ketulusan nyata untuk menanggapi tuntutan kami, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi terus berlanjut, kami mengharapkan partisipasi yang besar," ujar Leung dilansir The Guardian.
Sebuah komentar dalam surat kabar Partai Komunis China, People's Daily menyatakan, jika aksi protes terus berlanjut maka akan memberikan pukulan yang lebih besar bagi kemakmuran dan stabilitas Hong Kong. Sebelumnya, para pejabat telah memperingatkan dampak aksi protes berkepanjangan terhadap perekonomian Hong Kong. Sebab, aksi protes tersebut turut melumpuhkan bagian distrik keuangan, menutup kantor pemerintah, dan menganggu operasi bisnis di seluruh kota.
Sementara itu, editorial berbahasa Inggris yang dikelola Pemerintah China, Global Times menyatakan, China tidak akan membiarkan ekstremis dan kekuatan eksternal untuk menjatuhkan sistem hukum Hong Kong dan mendorong kota ke dalam lingkaran setan.
"Jika Hong Kong kehilangan aturan hukumnya dan menjadi medan pertempuran politik, ia akan memiliki masa depan yang tidak pasti. Itu bertentangan dengan keinginan warga Hong Kong, dan China tidak akan membiarkan itu terjadi," tulis editorial Global Times.