Senin 22 Jul 2019 12:36 WIB

Benarkah Timor Leste Sia-siakan Peluang Untuk Jadi Negara Makmur?

Timor-Leste ingin memproses sendiri cadangan minyak dan gasnya.

Red:
abc news
abc news

Sebuah penerbangan pagi baru saja mendarat di Bandara Internasional Xanana Gusmao, yang terletak di pesisir selatan Timor-Leste. Rupanya, itulah satu-satunya pesawat yang dijadwalkan hari itu. Penerbangan reguler berikutnya akan ada lagi empat hari kemudian.

Kesempatan yang Hilang:

  • Timor-Leste ingin memproses sendiri cadangan minyak dan gas daripada mengirimnya ke Australia
  • Biaya pembangunan infrastruktur untuk pemrosesan cadangan gas diperkirakan mencapai 16 miliar dolar
  • Sejumlah pihak menyebut proyek ini akan gagal, ditandai dengan adanya proyek-proyek megah namun tidak banyak bermanfaat

 

Setelah 15 penumpang mengambil koper dan tas mereka, bandara megah ini pun kosong dan sepi kembali.

Di dalam terminal, tidak ada staf yang menjaga meja check-in. Mesin pemindai di imigrasi pun tidak dinyalakan.

Gerbang keberangkatan tampak kosong dengan kursi-kursi baru yang tampaknya belum pernah diduduki orang.

Tidak ada seorang pun yang tampak di ruang VIP.

 

Gambaran situasi seperti ini sudah terjadi sejak bandara di Kota Suai tersebut mulai beroperasi pada 2017. Lokasinya agak terpencil di bagian barat daya Timor-Leste.

"Saat ini masih kosong. Tak ada pelaung nyata bagi kedatangan lalu lintas udara ke sana," ujar pakar Timor Leste dari Deakin Univesity Australia, James Scambary.

"Kita tidak begitu paham apa yang ada dalam pikiran Pemerintah Timor ketika membangun bandara ini," tambahnya.

Menelan biaya 120 juta dolar, sejumlah pihak kini mempertanyakan mengapa mereka membangun bandara ini.

 

"Banyak cara lain yang lebih berkelanjutan, lebih adil dan bermanfaat dalam membelanjakan uang tersebut," kata Charlie Scheiner dari La'o Hamutuk, sebuah LSM pemantau pembangunan di Timor-Leste.

Tapi bukan hanya pembangunan bandara yang menimbulkan keheranan di negara yang dikategorikan masih miskin tersebut.

Hampir satu kilometer dari situ terdapat jalan raya bebas hambatan yang dibangun konsorsium China dengan biaya sekitar 500 juta dolar.

Jalan ini tidak menuju kemana-mana. Panjangnya 33 kilometer menghubungkan Suai ke jalan tanah di beberapa desa pertanian.

 

Saat musim hujan tiba, jalan ini pun nyaris tidak dapat digunakan.

Tanah longsor di salah satu ujungnya telah memblokir jalur timur sejak Januari lalu.

Lebih jauh lagi, sebagian besar jalan amblas, memaksa arus lalu lintas dialihkan ke sisi lajur sebelahnya.

Bandara dan jalan tol, setidaknya untuk saat ini, menjadi proyek yang dibangun dengan biaya besar tetapi tidak banyak digunakan.

 

Namun, Timor-Leste menganggap kedua proyek tersebut sebagai kunci bagi masa depan perekonomiannya.

Mempertaruhkan cadangan migas

Bandara dan jalan raya ini merupakan proyek pembangunan infrastruktur besar-besaran untuk mengembangkan wilayah pesisir pantai selatan. Namanya Proyek Tasi Mane.

Rencananya berupa penyaluran minyak dan gas dari Laut Timor untuk diproses di darat.

"Pahlawan perjuangan kemerdekaan di negara ini sangat mendukung proyek ini, sehingga orang lain segan mempertanyakannya," jelas Scheiner.

Banyak dari pahlawan kemerdekaan itu, termasuk Xanana Gusmao sendiri, sekarang duduk di pemerintahan.

 

Bahkan Xanana sendiri yang langsung memimpin Proyek Tasi Mane, yang diharapkan memberikan dukungan begitu Timor-Leste dan Australia meratifikasi perjanjian perbatasan laut bulan depan.

Perjanjian kedua negara akan memberi hak kepada Timor Leste atas sebagian besar royalti dari ladang Greater Sunrise, bernilai sekitar 50 miliar dolar.

Perusahaan minyak milik negara Timor Gap berpandangan nilai cadangan tersebut jauh lebih besar dari itu.

"Angka-angka kami menunjukkan nilainya lebih dari 76 miliar dolar, berdasarkan cadangan yang kami hitung," kata CEO Timor Gap, Francisco Monteiro.

"Selama proyek ini kami akan menerima setidaknya 28 miliar dolar," tambahnya.

Namun sejumlah pihak menyebut biaya proyek ini akan jauh lebih besar daripada hasilnya.

Timor Leste kini hampir sepenuhnya menggantungkan diri pada cadangan minyak dan gas tersebut.

 

Namun bukannya menikmati royalti dari pemrosesan lepas pantai tanpa mengeluarkan dana satu sen pun, seperti halnya yang terjadi di ladang migas Bayu Undan, Timor Leste justru bertekad membangun fasilitas pengolahan sendiri.

Proyek Tasi Mane mencakup rencana kilang LNG, refinery, pangkalan industri, pelabuhan laut, bandara kedua, dan jalan raya yang menghubungkan semuanya di sepanjang pantai selatan negara itu.

Keseluruhan proyek membutuhkan biaya hingga 16 miliar dolar.

Dana tersebut kurang-lebih sama dengan Dana Perminyakan Timor Leste yang saat ini dipakai untuk APBN bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan vital lainnya.

Selain itu, Timor secara terpisah telah membayar 650 juta dolar untuk membeli saham mayoritas di proyek Greater Sunrise, memberikannya kendali atas bagaimana dan dimana cadangan minyak dan gas dikembangkan.

Timor Gap sekarang berusaha mendapatkan pinjaman 16 miliar dolar dari bank asing dan investor, termasuk Bank Exim China.

Tetapi para analis perminyakan mengatakan proyek itu tidak dapat dijalankan, dan malah bisa mengirim Timor Leste ke dalam perangkap hutang China.

"Mempertaruhkan seluruh cadangan sumber daya, dana 17 miliar dolar yang disimpan di Dana Perminyakan, pada satu proyek di sektor migas, merupakan pertaruhan yang buruk," ujar Scheiner.

Dia menyebut sebenarnya sektor perminyakan merupakan sektor yang paling tidak efisien untuk menciptakan lapangan kerja di Timor.

"Kita seharusnya fokus pada pertanian, pada pariwisata, pada industri kecil untuk menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan di sini," katanya.

Awal tahun ini, Parlemen Timor Leste mengubah UU untuk menghilangkan sebagian pengawasan terhadap penggunaan uang dari Dana Perminyakan untuk proyek-proyek besar.

 

Obsesi pada migas

James Scambary mempertanyakan obsesi Pemerintah Timor Leste untuk mengolah cadangan migasnya sendiri di negara itu.

"Sikap yang terasa di Timor Leste yaitu, kami memenangkan perang melawan Indonesia. Kami memenangkan perselisihan dengan Australia atas batas laut, dan Anda bilang kami tak bisa mengerjakan ini," katanya.

"Jika keberanian dan tekad bisa membangun kilang minyak, itu akan sangat bagus. Tapi tentu saja tidak begitu," tambahnya.

Ada pula persoalan teknis yang cukup besar, termasuk kebutuhan membangun pipa sepanjang 286 kilometer melintasi laut sedalam 2.800 meter di pantai selatan Timor Leste.

Sebuah survei batimetri AS menyimpulkan bahwa ukuran pipa perlu lebih berat agar bisa menahan tekanan pada kedalaman laut tersebut.

Jika pipa itu bocor, akan sulit untuk diperbaiki pada tingkat kedalaman seperti itu.

Para mitra dalam proyek Greater Sunrise terang-terangan menentang Proyek Tasi Mane.

Woodside Petroleum, operator usaha patungan itu misalnya, menyatakan tidak akan berinvestasi pada pengolahan di darat.

ConocoPhillips dan Shell sama-sama menjual saham mereka di proyek Greater Sunrise karena keraguan mereka atas kemampuan Timor Leste untuk memproses migas di darat.

Namun sebuah laporan untuk Timor Gap menunjukkan bahwa Proyek Tasi Mane akan membuka 12.700 lapangan kerja selama proses konstruksi dan 2.000 lainnya untuk pekerjaan selanjutnya.

Laporan tersebut memperkirakan fase konstruksi kedua akan menghasilkan hingga 12.600 lapangan kerja pada tahun 2028.

Tetapi Scambary menilai Timor Leste masih kekurangan tenaga kerja terampil untuk membangun atau mengoperasikan kilang LNG atau kilang minyak.

"Itu fantasi absolut. Sebagian besar pekerja di sana adalah orang asing," katanya.

 

Warga kehilangan harapan

Warga yang tinggal di sekitar Proyek Tasi Mane sendiri tidak begitu yakin bahwa proyek ini akan menciptakan banyak lapangan kerja.

Salah seorang penduduk Suai yaitu Leonel Amaral yang setuju menjual rumah dan tanahnya demi pembangunan jalan untuk bandara baru.

Sebagai imbalannya, katanya, dia dijanjikan bahwa anak-anaknya akan diberikan pekerjaan di bandara.

"Saya ingin dua anak saya bekerja di bandara karena saya telah menyerahkan tanah saya kepada negara," katanya.

"Mereka menjanjikan anak-anak kami akan bekerja di bandara. Tetapi sampai hari ini, tidak seorang pun anak saya yang bekerja di sana," ujar Leonel.

"Kami ditawari 7 dolar permeter untuk tanah kami, lalu mereka menguranginya menjadi 4 dolar. Tapi mereka hanya membayar 3 permeter," jelasnya.

 

Warga yang tergusur sekarang tinggal di daerah baru yang dibangun tepat di sebelah bandara.

Penduduk mengakui bahwa Pemerintah memberi mereka rumah baru di sini, yang dibangun oleh perusahaan Australia.

Tetapi rumah-rumah itu, kata warga, lebih cocok untuk iklim Australia yang dingin, dan terlalu panas untuk iklim setempat.

Banyak warga lainnya mengeluh telah kehilangan tanah pertanian yang berharga.

"Mereka kini mengabaikan kami," kata Leonel.

 

Bagaimana pun Timor Leste bertekad meneruskan Proyek Tasi Mane, dengan keyakinan negara ini akan menjadi pemenang begitu royalti dari Greater Sunrise mulai masuk.

Timor Gap memproyeksikan laba bersih hampir 45 miliar selama masa proyek itu, meskipun pengembalian laba pertama baru akan terjadi tahun 2030.

Tapu itu sudah cukup baik bagi CEO Timor Gap Francisco Monteiro.

"Mengapa kita berpikir tentang kegagalan?" katanya.

Sebagai salah satu negara dengan populasi termuda di dunia - usia rata-rata adalah 17 tahun - dikhawatirkan memicu pengangguran dalam beberapa tahun ke depan.

"Cara membangun negara ini adalah industrialisasi. Kami tidak bisa hidup seperti sekarang. Jika masih seperti ini selama lima hingga 10 tahun lagi, kami akan mengalami masalah," kata Monteiro.

 

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement