Senin 22 Jul 2019 14:57 WIB

Gangster Bertopeng Serang Stasiun Kereta Hong Kong

Sebanyak 45 orang terluka dalam serangan yang menyasar pengunjuk rasa anti-pemerintah

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Bentrokan antara demonstran dan polisi Hong Kong pada 21 Juli 2019
Foto: Lo Kwanho/HK01 via AP
Bentrokan antara demonstran dan polisi Hong Kong pada 21 Juli 2019

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Sejumlah pria bertopeng menyerang pengunjuk rasa anti-pemerintah serta penumpang di stasiun kereta api Hong Kong, Ahad (21/7) malam waktu setempat. Akibatnya, 45 orang terluka, dan satu orang dalam kondisi kritis.

Sekelompok pria bertopeng dengan memgang tongkat dan mengenakan kaos putih, tiba-tiba membanjiri stasiun Mass Transit Railway (MTR) di daerah pedesaan Yuen Long. Menurut rekaman CCTV MTR, mereka menyerbu kereta api dan menyerang penumpang.

Baca Juga

Saksi mata mengatakan, kelompok itu menargetkan para penumpang berbaju hitam yang telah melakukan pawai anti-pemerintah. Serangan terjadi setelah ribuan aktivis berpakaian kaos hitam mengepung kantor perwakilan China di kota itu, yang kemudian bentrok dengan polisi.

Cuplikan rekaman video yang disiarkan langsung di Facebook menunjukkan orang-orang berteriak ketika sekelompok bertopeng memukuli banyak pengunjuk rasa dan jurnalis di stasiun MTR. Berdasarkan video, banyak orang terluka sehingga lantai stasiun dialiri genangan darah.

Seorang pekerja pemerintah, berusia 22 tahun mendeskripsikan kejadian itu. Ia mengatakan, suasana Ahad malam kacau ketika orang-orang berlarian dari kereta yang sedang diserang. "Orang-orang mulai berlari ke segala arah untuk menghindari para gangster," katanya dikutip Channel News Asia, Senin (22/7).

Beberapa pria dengan kemeja putih kemudian terekam meninggalkan tempat kejadian dengan mobil berpelat nomor daratan China. Seorang aktivis pro-demokrasi Nathan Law menilai pemerintah Hong Kong tidur ketika sekelompok China menyerang warga. "Ketika massa China menyerang warga, tidak ada penegakan hukum di sana. Malu terhadap pemerintahan sendiri," katanya di Twitter.

Bentrokan telah memicu kekhawatiran bahwa sekelompok penyerang yang ditakuti kota itu memasuki konflik politik. Daerah Yuen Long terletak di Wilayah Baru dekat perbatasan China. Di sana, kelompok geng kriminal dan komite pedesaan pro-Beijing tetap berpengaruh.

Serangan serupa oleh pasukan pro-pemerintah terhadap demonstran selama protes "Gerakan Payung" 2014 disalahkan atas kelompok itu. Meski demikian, ketika gerombolan massa mengamuk di Yuen Long, polisi secara bersamaan memerangi pengunjuk rasa pro-demokrasi di wilayah pusat komersial.

Petugas anti-huru hara menembakkan gas air mata dan peluru karet ke pengunjuk rasa anti-pemerintah. Insiden itu terjadi beberapa jam setelah kantor China di kota dilempari dengan telur dan dicoret grafiti di dindingnya dalam sebuah teguran keras terhadap pemerintahan Beijing.

"Sebanyak 13 orang lainnya cedera setelah bentrokan di pulau Hong Kong, satu serius," kata Otoritas Rumah Sakit.

Dalam sebuah pernyataan, polisi mengecam keras kedua insiden kekerasan di daerah Yuen Long dan Hong Kong. Pihak berwajib pun tengah menyelidiki kedua kasus tersebut. Namun, Polisi mengatakan, tidak ada penangkapan yang dilakukan atas kekerasan di stasiun.

Asisten komandan polisi daerah Yuen Long, Yau Nai-keung mengatakan kepada wartawan bahwa patroli polisi awal harus menunggu lebih banyak bala bantuan mengingat situasi yang melibatkan lebih dari 100 orang. Menurutnya, polisi tidak melihat senjata ketika mereka tiba, meskipun saksi mata mengatakan mereka melihat sekelompok pria berpakaian putih dengan membawa tongkat bambu di desa terdekat.

"Kami tidak bisa mengatakan Anda memiliki masalah karena Anda berpakaian putih dan kami harus menangkap Anda. Kami akan memperlakukan mereka dengan adil di mana pun mereka berada," kata Yau.

Hong Kong mengalami pergolakan ke dalam krisis terburuk dalam sejarah. Pengunjuk rasa selama berminggu-minggu melakukan aksi demonstrasi hingga konfrontasi kekerasan sporadis antara polisi dan pengunjuk rasa.

Protes awal disulut oleh RUU Ekstradisi yang kini telah ditangguhkan. RUU tersebut memuat tentang ekstradisi ke daratan Cina. Meski ditangguhkan, sejak itu para demonstran berkembang menjadi gerakan yang lebih luas yang menyerukan reformasi demokratis, hak pilih universal, dan penghentian kebebasan di wilayah semi-otonom.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement