Senin 22 Jul 2019 22:41 WIB

UU Senjata Api Direformasi Setelah Tragedi Christchurch

Tujuan reformasi undang-undang agar senjata api tidak jatuh ke tangan yang salah.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Andri Saubani
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Hagley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Mark Baker
CHRISTCHURCH. Orang-orang berkumpul di Hagley Park untuk melaksanakan March for Love sebagai penghormatan pada korban terorisme di Christchurch, Selandia Baru, Sabtu (23/3) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Pemerintah Selandia Baru telah mengumumkan rencana untuk pendataan kepemilikan senjata api nasional. Rencana tersebut sebagai bagian dari putaran kedua reformasi hukum kepemilikan senjata api setelah teror di Masjid Christchurch yang mengakibatkan 51 Muslim terbunuh.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan, peraturannya memperketat siapa saja yang bisa memegang lisensi senjata api. Tujuannya, untuk menghentikan senjata api jatuh ke tangan yang salah.

Ardern menjelaskan, pada 15 Maret 2019, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan ke dua masjid di Kota Christchurch. Saat itu jamaah sedang berkumpul untuk melaksanakan shalat Jumat. Kejadian tersebut telah mengubah sikap terhadap aturan kepemilikan senjata api di Selandia Baru.

"Senjata paling berbahaya dicabut dari peredaran," kata Ardern kepada wartawan, dilansir dari RTE.ie, Senin (22/7)

Respons awal Pemerintah Selandia Baru terhadap serangan teror di masjid adalah larangan langsung terhadap kepemilikan senjata api semi-otomatis gaya militer. Senjata jenis itu yang digunakan untuk membunuh puluhan Muslim dan menjadikan hari itu tragedi terburuk dalam sejarah Selandia Baru modern.

Menteri Kepolisian Selandia Baru, Stuart Nash mengatakan, reformasi hukum kepemilikan senjata api diperlukan untuk melacak senjata api di masyarakat. "Di bawah undang-undang yang ada saat ini, kita tidak tahu persis berapa banyak senjata yang beredar, siapa pemiliknya, siapa yang menjualnya, siapa yang membelinya, atau seberapa aman senjata itu disimpan," ujarnya.

Pendataan senjata api nasional diperkirakan akan selesai dalam waktu lima tahun. Pendataan akan berisi rincian dari perkiraan 1,2 juta senjata api yang beredar di Selandia Baru. Sementara, putaran kedua reformasi hukum kepemilikan senjata api mencakup larangan warga negara asing membeli senjata api.

Sebagaimana diketahui, orang bersenjata yang membunuh masyarakat Muslim di Christchurch adalah Brenton Tarrant dari Australia. Reformasi hukum kepemilikan senjata api juga melarang orang-orang bermasalah dengan hukuman karena pernah melakukan kekerasan, ikut aktivitas geng dan pemakai narkoba memegang lisensi kepemilikan senjata api.

Pemerintah Selandia Baru mulai melakukan pembelian ulang (buyback) senjata api dan mengumpulkan senjata api oleh kepolisian pada bulan ini. Masyarakat diizinkan menyerahkan senjata api sebelum amnesti kepemilikan senjata selama enam bulan berakhir. 

Stuart mengatakan, ada respons yang luar biasa dari masyarakat pada pekan pertama pembelian kembali senjata api. Sebanyak lebih dari 11 ribu senjata api terlarang termasuk bagian-bagiannya diserahkan ke polisi.

"Pemilik senjata api ingin melakukan hal yang benar, orang-orang yang ingin menyerahkan senjata api termasuk bagiannya dan amunisi antre sebelum pintu terbuka," kata Stuart.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement