Krakatau Steel (KS), perusahaan pembuat baja terbesar di Indonesia, berencana untuk mengurangi sekitar sepertiga tenaga kerja intinya guna melakukan efisiensi dan modernisasi.
KS melaporkan kerugian bersih sebesar 77,2 juta dolar AS pada 2018 atas pendapatan 1,7 miliar dolar AS. Perusahaan dengan 80 persen saham yang dimiliki negara ini juga melaporkan jumlah liabilitas pada 31 Maret sebesar 2,4 miliar dolar AS, sebagian besar dalam bentuk pinjaman.
Perusahaan telah merugi selama tujuh tahun terakhir dan tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk melakukan restrukturisasi, kata Presiden Direktur KS Silmy Karim baru-baru ini. Karim ditunjuk sebagai presiden direktur di perusahaan ini pada September 2018.
Rencana perusahaan akan mengurangi jumlah pegawai di perusahaan induk dari 6.300 menjadi 4.500 karyawan. Sebagian dari mereka yang ditargetkan akan ditransfer ke anak perusahaan. Pengurangan karyawan ini adalah langkah yang tidak biasa, karena perusahaan ini justru secara historis didirikan untuk menciptakan lapangan kerja.
Namun saat ini KS menjadi bagian strategis sentral dalam rencana Presiden Joko Widodo untuk melakukan modernisasi di bidang industri. Kelebihan karyawan dinilai telah mengakibatkan inefisiensi.
Menjual aset
KS juga diketahui akan menjual aset noninti di bidang perumahan, hotel, dan bidang medis. Afiliasi teknik juga akan dipisah menjadi entitas independen. Penjualan aset ini diharapkan menghasilkan dana segar sekitar 1 miliar dolar AS.
Setelah memperoleh keuntungan, rencana selanjutnya adalah menempatkan KS di bawah perusahaan milik negara di bidang pertambangan yaitu Indonesia Asahan Aluminium.
KS juga berencana menjual saham tiga anak perusahaannya yaitu PT Krakatau Tirta Industri, PT Krakatau Bandar Samudera dan PT Industrial Estate.
Kalah bersaing
Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan KS masih menggunakan teknologi lama dalam proses produksi mereka. Karena itu perusahaan ini kalah bersaing dengan perusahaan lain seperti perusahaan baja asal Cina yang memakai teknologi maju.
Lebih lanjut Kalla mengatakan seiring dengan revolusi industri 4.0 pemerintah berencana mendorong pengembangan teknologi pada industri nasional agar bisa lebih bersaing di pasar internasional.
Ia pun mencontohkan satu pabrik di Indonesia butuh 600 hingga 800 orang. Sementara di Cina hanya butuh 70 orang karena semua telah menerapkan sistem otomasi.
ae/vlz (Nikkei, The Jakarta Post, Antara)