REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perhimpunan pelayaran mengimbau para pemilik perusahaan agar memberi tahu Angkatan Laut Inggris sebelum kapal-kapal mereka melintasi Teluk Timur Tengah dan Selat Hormuz. Pemeritahuan tersebut terkait krisis internasional yang sedang meningkat di kawasan itu.
Sekitar seperlima minyak dunia diangkut melalui Selat Hormuz. Perusahaan-perusahaan pelayaran sudah menambah jumlah penjaga tak bersenjata untuk meningkatkan pengamanan.
Namun, dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan sejumlah perhimpunan dagang terkemuka pada Senin (22/7), para kapten kapal tetap diminta mendaftar ke badan penghubung AL Inggris, yaitu United Kingdom Marine Trade Operations. Mereka juga diminta memberikan keterangan soal rencana perjalanan 24 jam hingga 48 jam sebelum memasuki kawasan tersebut.
Keterangan rinci yang diminta termasuk soal kewarganegaraan para awak kapal serta batasan kecepatan kapal. Informasi tersebut akan dikirimkan ke Angkatan Laut Amerika Serikat dan pasukan-pasukan angkatan laut lainnya yang ikut dalam upaya membangun prakarsa keamanan nasional.
Prakarsa yang dipimpin Amerika Serikat itu dikenal sebagai Operation Sentinel. AS mengatakan inisiatif tersebut dibentuk untuk meningkatkan pengawasan dan keamanan di jalur-jalur pelayaran utama di Timur Tengah.
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengatakan kepada parlemen, Senin, Inggris akan berupaya membangun suatu misi perlindungan maritim pimpinan Eropa guna menjamin keselamatan pelayaran melintasi Selat Hormuz. Langkah itu diambil setelah Iran menyita sebuah kapal berbendera Inggris.
Inggris menyebut penyitaan tersebut sebagai perompakan oleh negara. Salah seorang pemilik tanker mengatakan, "Kami akan menghitung waktu transit pada jam-jam siang hari dan melaju dengan kecepatan maksimal."