REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA – Pemerintah Bangladesh berencana memulai proses repatriasi pengungsi Rohingya pada September mendatang. Namun, Dhaka belum mengumumkan tentang mekanisme pemulangan mereka ke Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
“Saya mengharapkan repatriasi akan dimulai dari September ini. Setelah kunjungan Perdana Menteri Sheikh Hasina ke Cina, segalanya bergerak lebih cepat,” kata Menteri Luar Negeri Bangladesh AK Abdul Momen pada Rabu (24/7), dikutip laman Anadolu Agency.
Dia mengaku memiliki firasat yang kuat tentang hal tersebut. “Kami mendapat umpan balik positif dari semua negara sahabat kami yang terlibat dalam proses ini,” ujar Momen.
Sebelumnya Utusan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mengatakan situasi di Rakhine masih tak kondusif untuk repatriasi pengungsi Rohingya. Hal itu dia sampaikan saat bertemu Menteri Luar Negeri Bangladesh Shahidul Haque pada Selasa (23/7).
Dalam pertemuan itu, Burgener menyampaikan tentang hasil kunjungannya selama 10 hari ke Myanmar yang dimulai sejak 9 Juli lalu. Saat berada di negara tersebut, Burgener bertemu dengan para menteri, pejabat pemerintah, perwakilan masyarakat sipil, dan berbagai badan PBB.
Dilaporkan laman media Bangladesh, Prothom Alo, para pejabat Bangladesh yang turut mendampingi Haque mengatakan bahwa Burgener pun mengunjungi Rakhine. Selama berada di sana, Burgener mengaku tak tenang dan gerakannya benar-benar dibatasi.
Dia hanya dapat mengunjungi tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Myanmar. Menurut para pejabat Bangladesh, dalam pertemuan itu, Haque kemudian bertanya apakah keadaan di sana tidak kondusif untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya. Burgener setuju bahwa situasinya tak kondusif bagi para Rohingya untuk kembali.
Pada Selasa lalu, the Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menerbitkan laporan yang menyebut persiapan proses repatriasi pengungsi Rohingya yang dilakukan Myanmar masih minim. ASPI mengatakan, meskipun pihak berwenang Myanmar telah berjanji untuk memukimkan kembali para pengungsi Rohingya, analisis citra satelit menunjukkan tidak ada tanda-tanda rekonstruksi. Kerusakan bangunan tempat tinggal bahkan masih berlanjut.
“Kerusakan yang berkelanjutan dari area perumahan sepanjang 2018-2019, yang jelas dapat diidentifikasi melalui analisis satelit longitudinal kami, menimbulkan pertanyaan serius tentang kesediaan Pemerintah Myanmar untuk memfasilitasi proses repatriasi yang aman dan bermartabat,” kata peneliti ASPI’s International Cyber Policy Centre, Nathan Ruser.
Pemerintah Myanmar tak menanggapi permintaan komentar atas laporan ASPI. Wakil Direktur Departemen Administrasi Umum Rakhine Kyaw Swar Tun juga menolak menanggapi laporan tersebut.
Koordinator Free Rohingya Coalition Nay San Lwin mengaku masih mencemaskan situasi di Rakhine. Menurut dia, kepulangan para pengungsi Rohingya ke Rakhine hanya dapat dilakukan jika perlindungan dan status kewarganegaraan mereka terjamin, termasuk hak untuk mata pencaharian, mengakses pendidikan, serta layanan kesehatan. “Genosida belum berakhir. Ini sedang berlangsung. Sampai sekarang tidak ada jaminan untuk apa pun,” ujar Nay San Lwin.
“Dunia dan Bangladesh harus memastikan bahwa siklus kekerasan terhadap Rohingya tidak terulang lagi. Rohingya dapat hidup kembali di tanah air mereka sebagai manusia,” kata dia.