REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO - Puluhan jenazah ditemukan di lautan Mediterania, Jumat (26/7) waktu setempat, satu hari setelah dua kapal yang membawa migran terbalik dan tenggelam. Dua kapal tujuan Eropa yang mengalami kecelakaan itu menyebabkan kematian hingga 150 migran.
Saksi mata mengatakan pemandangan yang mengerikan di laut. Saksi mata yang merupakan sejumlah melayan itu melihat tubuh para migran terombang-ambing di lautan. Para nelayan pun turut memeriksa reruntuhan kapal mencari korban yang sempat hilang.
"Ada mayat-mayat yang mengambang di permukaan air tempat kapal itu terbalik," kata saksi mata dilansir Guardian, Sabtu (26/7).
Salah satu migran yang selamat, Abdallah Osman mengatakan, kapal yang ia dan beberapa migran tumpangi melakukan perjalanan yang berbahaya dari Libya, Rabu malam. Kemudian sekitar 90 menit setelah berangkat, kapal mulai terisi air sehingga membuat mesin mogok. Selama enam jam kemudian, pria, wanita, dan anak-anak mulai tenggelam.
"Tidak lama setelah waktu shubuh, para nelayan keluar dari perahu kecil mereka, dan mulai membawa kami ke pantai menyelamatkan kami. Lima orang sekaligus, itu berlangsung sampai pukul sembilan pagi," kata Osman.
Sekitar pukul 10.30, Manajer Aktivitas Keperawatan di Medecins Sans Frontiere (MSF) Anne-Cecilia Kjaer tiba di sebuah pangkalan militer di Khoms, Libya tempat para korban yang selamat ditempatkan. "Hari itu teramat panas, orang-orang duduk di pinggir untuk berteduh. Mereka nyaris tak berpakaian, beberapa dari para korban migran ini hanya mengenakan handuk dan pakaian dalam, mereka terlihat sangat terpukul dan kaget," kata Kjaer.
Seorang pria Sudan, yang berhasil diselamatkan keluar dari air menceritakan kepada tim Kjaer ia melihat istri dan anak-anaknya tenggelam. "Dia sangat terpukul," katanya.
Kjaer mengatakan, para migran yang berada di kapal berasal dari Eritrea, Sudan, Mesir, dan Bangladesh. Para korban mengatakan kepada petugas medis MSF, mereka meninggalkan pantai Libya pada Rabu malam.
Ketika mereka terus menuju pantai, perahu mulai terisi air. "Sebagian besar anak-anak tidak bisa berenang, dan bahkan mereka yang bisa berenang tenggelam karena kelelahan," kata Kjaer.
Insiden tenggelamnya kapal dinilai sebagai upaya penyeberangan Mediterania yang paling mematikan tahun ini dengan sekitar 150 orang tewas. Persimpangan berbahaya dari Afrika utara ke pantai Eropa memuncak setelah pemberontakan 2011 di Timur Tengah.
Para pemimpin Uni Eropa (UE) sebelumnya telah melakukan upaya pencegahan penyeberangan migran, dan telah bermitra dengan otoritas Libya hingga memberikan pelatihan dan pendanaan kepada penjaga pantai Libya. Pada Juni, pemerintah sayap kanan Italia memperkenalkan aturan kontroversial yang menutup pelabuhan Italia ke kapal penyelamat migran. Pemerintah Italia mengancam para pelanggar aturan dengan denda 50 ribu euro dan menyita kapal.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan, mundurnya UE dari berpartisipasi aktif dalam operasi penyelamatan, berimbas pada kematian di Mediterania. Tanpa upaya penyelamatan terkoordinasi dari Eropa, korban kapal terbalik hanya bergantung pada penjaga pantai Libya, nelayan, dan kapal penyelamat sukarela kecil.
"Karena kami tidak memiliki sarana, kami harus menunggu laut untuk mengembalikan mayat-mayat itu sehingga kami dapat mengambilnya," kata seorang anggota penjaga pantai,
Juru bicara Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan, 84 orang yang diselamatkan dibawa ke pusat penahanan Tajoura. Wilayah Tajoura berada di garis depan bentrokan antara milisi bersenjata. Diperkirakan 60 orang tewas dalam pengeboman di sana awal bulan ini. Beberapa dari mereka yang diselamatkan diduga telah dibebaskan di Tripoli.
Organisasi HAM khawatir akan keselamatan migran yang diselamatkan yang dikirim ke pusat-pusat penahanan di Libya. Direktur inisiatif mobilitas manusia di Overseas Development Institute Marta Foresti menilai sangat penting negara-negara Eropa berhenti mengandalkan penjaga pantai Libya untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan. Komunitas internasional memiliki kehadiran yang sangat sedikit di Libya, yang berada dalam keadaan ketidakstabilan politik yang lengkap
"Anda bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang ini menderita. Begitu Anda berada di antara mereka, ketika Anda mencoba mengutarakannya, maka Anda menyadari tidak ada kata-kata untuk menggambarkan penderitaan mereka," kata Kjaer.